DINAMIKA OPOSISI PADA MASA PEMERINTAHAN PRESIDEN ABDURRAHMAN WAHID
Abstract
Iklim demokrasi yang mensyaratkan agar tiga kekuatan; legislatif, yudikatif, dan eksekutifmenjadi lembaga-lembaga yang independen memaksa bangsa Indonesia untuk melaksanakan refungsionalisasi ke tiga lembaga negara tersehut. Semila kekuatan yang mengerucut pada kekuatan eksekutif saat rezim Orde Baru herkuasa mengalami pergeseran pada masa reformasi. DPR sebagai penyeimbang kekuatan eksekutif yang dulu juga di bawah pengaruh penguasa Orde Baru menjadi Iehih kuat pasta turunnya mantan Presiden Soeharto. Meskipun heherapa saat kondisi oposisi DPR masih Iemah tetapi hal ini tidak berlangsung lama. Dengan semakin dihutuhkannya fungsi pengawasan Badan Perwakilan terhadap presiden untuk menghindari proses demokratisasi Indonesia kembali menuju praktek-praktek otoritarianisme, mengharuskan DPR untuk semakin kritis. Yang ini tercantum dalam perubahan kedua UUD 1945 di mana fungsi pengawasan DPR jelas tersurat di sana disamping fungsi legislasi dan fungsi anggaran.
Menguatnya fungsi oposisi DPR tidak sernata-mata terjadi hegitu saja. Ada faktor-faktor yang menyebabkan mengapa yang demikian itu hisa terjadi, padahal pada awal masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, akihat presiden memiliki legitimasi dan memiliki kabinet yang mengakomodasi semua kekuatan politik, peran pengawasan Lembaga Perwakilan dalam situasi yang Iemah. Pada masa itu budaya paternalis warisan Orde Baru masih terasa sekali di antara para elite politik, namun setelah pemerintahan Gus Dur herjalan, fungsi pengawasan terhadap presiden semakin lama semakin terlihat jelas. Parlemen menganggap presiden terlalu sexing mengganti para menterinya tanpa alasan yang mendasar. Di tramping iw semakin kuatnya DPR ditunjukkan dengan dikeluarkannya mamorandum hingga dua kali yang dapat dikategorikan sebagai prestasi negatif bagi pemerintah saat itu.
Dengan demikian melemahnya fungsi pengawasan DPR disehahkan oleh hesarnya legitimasi yang dimiliki presiden dan kabinet yang mengakomodasi semua kekuatan politik, sedangkan menguatnya fungsi pengawasan DPR disebabkan karena adanya transisi dari rezim otoriter menjadi penguasaan yang demokratis, penggantian menteri yang terlalu sering, dan dugaan penyelewengan penggunaan dana Yayasan
Dana Kesejahteraan Karyawan Badan Urusan Logistik dan dana bantuan Sultan Brunai Darussalam yang memicu dikeluarkannya memorandum DPR. Ternyata proses transisi dari sistem otoriter menuju demokratis memerlukan waktu yang relatif
tidak singkat dan pemikiran yang terus-menerus.