Show simple item record

dc.contributor.advisorEmi Zulaika
dc.contributor.advisorMardi Handono
dc.contributor.authorPURNAMA, RAVONDA SEPVINO
dc.date.accessioned2017-03-23T06:40:34Z
dc.date.available2017-03-23T06:40:34Z
dc.date.issued2017-03-23
dc.identifier.nim090710101278
dc.identifier.urihttp://repository.unej.ac.id/handle/123456789/79829
dc.description.abstractPengaturan asuransi di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (UU Asuransi). Pada dasarnya asuransi dalam kegiatannya, secara terbuka mengadakan penawaran atau menawarkan suatu perlindungan atau proteksi serta harapan pada masa yang akan datang kepada individu atau kelompok-kelompok dalam masyarakat atau institusiinstitusi lain, atas kemungkinan menderita kerugian lebih lanjut karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak tertentu atau belum pasti. Dalam bisnis asuransi, ada beberapa prinsip asuransi yang harus diterapkan baik oleh perusahaan asuransi maupun oleh masyarakat tertanggung. Setidaknya prinsip dimaksud antara lain adalah prinsip insurable interest, prinsip utmost good faith, prinsip indemnity, prinsip proximate cause, dan prinsip kontribusi dan subrogasi. prinsip utmost good faith menyebutkan bahwa si tertanggung harus memberitahukan semua fakta material dengan benar, lengkap, serta sukarela atas obyek pertanggungan, baik diminta maupun tidak diminta. Sebaliknya, perusahaan asuransi pun dituntut harus menunjukkan itikad baiknya kepada si tertanggung. Sangat sering terjadi kesalahpahaman atas penerapan prinsip ini dalam bisnis asuransi. Prinsip utmost good faith seolah-olah hanya menjadi kewajiban si tertanggung, di mana si penanggung tidak perlu menunjukkan itikad baiknya kepada penanggung. Banyak penanggung mengklaim bahwa tertanggung tidak melaksanakan itikad baik sehingga klaim asuransi yang diajukan ditolak oleh perusahaan asuransi. Dalam banyak kasus, sering sekali niat baik tertanggung untuk melakukan sesuatu berkaitan dengan klaim asuransi menjadi bumerang karena ternyata tindakan itu melanggar ketentuan kontrak. Di sisi lain si tertanggung tidak mengetahui bahwa niat baik itu ternyata menjadi tidak baik, yang pada akhirnya menjadi gray area timbulnya konflik dari tuntutan ganti rugi. Adalah menjadi kewajiban si penanggung untuk menjelaskan semua hal yang berkaitan dengan kontrak asuransi, termasuk sebelum dimulai kontrak. Apabila si penanggung tidak menjelaskan hak dan kewajiban si tertanggung, maka penanggung telah melanggar prinsip utmost good faith. Berdasarkan uraian diatas, maka penulis bermaksud ingin mendalaminya lebih dalam dan menuangkannya dalam karya ilmiah yang berbentuk skripsi dengan judul: “Akibat Hukum Bagi Tertanggung Akibat Keterlambatan Pembayaran Premi Asuransi Jiwa Pru Safe Guard”. Permasalahan yang diangkat dalam penulisan skripsi ini mengenai Pertama, bagaimanakah akibat hukum atas keterlambatan pembayaran premi asuransi jiwa PruSafe Guard terhadap tertanggung bila resiko terjadi. Kedua, bagaimana penyelesaian sengketa antara tertanggung dan penanggung akibat keterlambatan pembayaran premi asuransi jiwa PruSafe Guard. Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian skripsi ini adalah untuk mengetahui dan memahami akibat hukum atas keterlambatan pembayaran premi asuransi jiwa Pru Safe Guard terhadap tertanggung, dan untuk mengetahui dan memahami penyelesaian sengketa antara tertanggung dan penanggung akibat keterlambatan pembayaran premi asuransi jiwa Pru Safe Guard.Tipe penelitian yang dipergunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah Yuridis Normatif, artinya permasalahan yang diangkat, dibahas dan diuraikan dalam penelitian ini difokuskan dengan menerapkan kaidah-kaidah atau normanorma dalam hukum positif, adapun dalam penyusunan skripsi ini, penulis menggunakan pendekatan yang meliputi 2 (dua) macam pendekatan, yaitu pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Menelaah akibat hukum apabila terjadi permohonan pengajuan klaim asuransi jiwa apabila tertanggung meninggal dunia dalam keadaan premi tidak lancar (lapse), akibatnya kalau tertanggung kewajiban preminya tidak dibayar sesuai dengan waktu yang telah diperjanjikan dampaknya tidak dibayar sebesar Uang Pertanggungan namun dibayar sebesar Nilai Tunai. Dalam penyelesaian sengketa perdata, telah lama dikenal ada dua model penyelesaiaannya yakni penyelesaian secara litigasi dan penyelesaian secara non litigasi. Litigasi sangat formal terkait pada hukum acara, para pihak berhadaphadapan untuk saling beragumentasi, mengajukan alat bukti, pihak ketiga (hakim) tidak ditentukan oleh para pihak dan keahliannya bersifat umum, prosesnya bersifat terbuka atau transaparan, hasil akhir berupa putusan yang didukung pandangan atau pertimbangan hakim. Sedangkan yang berwenang dalam penyelesaian sengketa alternatif terkait permasalahan sengekta asuransi jiwa adalah Badan Mediasi Asuransi Indonesia. Saran yang diberikan oleh penulis yaitu, hendaknya, solusi yang diberikan oleh PT. Prudential Life Assurance sudah sangat baik, namun hendaknya juga lebih memeperhatikan kepentingan pengaju klaim. Jika ahli waris atau pengaju klaim ingin mencairkan Uang Pertanggungan sebaiknya hal yang sedemikian harus diperhatikan, karena kepuasan nasabah merupakan kebutuhan yang utama; hendaknya pihak penanggung dan tertanggung saling proaktif melakukan komunikasi ketika terdapat masalah dalam hal keterlambatan premi, sehingga nantinya ditemukan solusi yang sama-sama menguntungkan baik bagi tertanggung dan penanggung.en_US
dc.language.isoiden_US
dc.subjectPEMBAYARAN PREMI ASURANSI JIWAen_US
dc.subjectPRUSAFE GUARDen_US
dc.titleAKIBAT HUKUM BAGI TERTANGGUNG AKIBAT KETERLAMBATAN PEMBAYARAN PREMI ASURANSI JIWA PRUSAFE GUARDen_US
dc.typeUndergraduat Thesisen_US


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record