Perilaku Seksual Beresiko Santriwati Lesbian di Pondok Pesantren Putri (Studi Kasus Pondok Pesantren X di Kabupaten Situbondo)
Abstract
Isu-isu remaja terutama mengenai cinta dan seksualitas dan kesehatan
reproduksi remaja di Indonesia belum dijadikan prioritas utama untuk diangkat
dan masih terkesan tabu untuk dibicarakan. Perkembangan fungsi seksual yang
tidak seimbang dengan informasi tentang seksual dapat menyebabkan perilaku
seksual yang menyimpang dan beresiko terhadap kesehatan. Lesbian merupakan
orientasi seksual yang dilakoni oleh pasangan wanita. Survei di negara barat
menunjukkan bahwa jumlah lesbian eksklusif, yakni hanya berhubungan cinta
dengan sesama wanita saja presentase sekitar 4% dari poulasi perempuan
(Oetomo, 2001:238). Hal ini tampaknya juga berlaku di Indonesia, eksistensi
kaum lesbian di masyarakat Indonesia tidak begitu menonjol dibanding dengan
gay.
Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam dengan seseorang
atau beberapa santri yang dipimpin oleh kyai dan dibantu oleh ustad dan ustadzah.
Pendidikan di pondok pesantren didasari, digerakkan dan diarahkan oleh nilainilai
kehidupan yang bersumber pada ajaran Islam. Sebagian besar pondok
pesantren sangat membatasi ruang gerak santriwati terhadap lawan jenisnya dan
tidak diperkenankan membawa alat komunikasi pribadi dengan tujuan menjaga
menjaga santriwati agar tidak berhubungan dengan laki-laki yang bukan
muhrimnya. Adanya pemisahan antara santriwati dan lawan jenisnya
memunculkan fenomena lesbian di kalangan santriwati.
Hasil penelitian yang berjudul “Homoseksual dalam Dunia Pesantren (Studi
tentang Fenomena Lesbianisme di Kalangan Santriwati Di Kabupaten Kudus)”
menemukan ada 2 kasus lebian di kalangan santriwati di kabupaten Kudus
(Rohmah, 2011:86), diperkuat oleh penelitian yang berjudul “Perilaku Mba’-mba’an (Studi Deskriptif Tentang Perilaku Senior Dengan Junior Di Pondok
Pesantren Putri “Al-Taubah” Probolinggo)” menyimpulkan bahwa hubungan
seksual yang dilakukan santriwati dalam memuaskan hawa nafsu dengan cara
saling memegang payudara, meraba-raba dan ciuman (Chairah, 2011:88).
Kehidupan remaja santri merupakan kehidupan ajaran moral tetapi kurang dalam
pengetahuan dan informasi terkait seksual yang erat hubungannya dengan
kesehatan reproduksi. Hal ini dapat digambarkan oleh hasil studi kasus pada
Yayasan Panti Asuhan Aisyiyah Sumbersari dan Yayasan Panti Asuhan Miftahul
Hasan Gunung Sepikul-Pakusari, Mitra Dinas Sosial Kabupaten Jember dengan
judul “Gambaran Pengetahuan, Sikap dan Tindakan Remaja Putri Menjaga
kesehatan Reproduksi di Panti Asuhan Perkotaan dan Pedesaan” dimana sebagian
besar responden di Panti Asuhan Aisyiyah berpengetahuan sedang (66,7%)
sedangkan di Panti Asuhan Miftahul Hasan sebagian besar masih berpengetahuan
kurang (88,9%) sehingga dapat disimpulkan bahwa tingkat pengetahuan remaja
santri terhadap kesehatan reproduksi masih kurang (dalam Nugraheni 2007:2).
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif.
Penentuan informan dalam penelitian ini menggunakan teknik snowball sampling
untuk meningkatkan kegunaan informasi yang diperoleh dari responden atau
informan yang sedikit. Terdapat 3 informan dalam penelitian ini yaitu informan
kunci (alumni pondok pesantren putri x), informan utama (santriwati lesbian) dan
informan tambahan (teman sekelas, teman sekamar dan senior/junior). Teknik
pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian, antara lain wawancara
mendalam (in-depth interview), dokumentasi, dan observasi. Analisis data pada
penelitian ini menggunakan metode metode thematic content analysis (analisis isi
berdasarkan tema). Teknik keabsahan data dalam penelitian ini adalah teknik
triangulasi dengan sumber. Sumber yang digunakan untuk triangulasi dalam
penelitian ini yaitu informan utama dan informan tambahan.
Berdasarkan hasil wawancara mendalam (indepth interview) dan
pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa 4 informan utama belum memiliki
efikasi diri yang baik. Pada faktor kognitif dalam efikasi diri, seluruh informan
dan didukung seluruh informan kunci dan tambahan mengaku bahwa pondok pesantren belum pernah memberikan sosialisasi terkait LGBT serta dampaknya
pada kesehatan khususnya kesehatan reproduksi. Dilihat dari faktor lingkungan,
lingkungan pondok pesantren atau lingkungan sosial santriwati lesbian
menunjukkan sikap permisif terhadap fenomena lesbian beserta segala perilaku
beresiko yang tampak dan pihak pondok pesantren masih kurang dalam
pengawasan perilaku santriwati. Dari faktor tingkah laku, santriwati lesbian
berwal dari rasa nyaman terhadap teman dekatnya. Perilaku khas santriwati
lesbian dapat dilihat dari tampilan santriwati seperti pakaian dan sikap maskulin
yang ditunjukkan terhadap pasangannya. Perilaku beresiko yang sering tampak
dari sepasang santriwati lesbian dapat berupa kontak fisik seperti berpegangan
tangan, memeluk, ciuman, saling meraba dan oral seks.
Collections
- UT-Faculty of Public Health [2227]