dc.description.abstract | Air irigasi menjadi hal yang paling krusial di bidang pertanian, untuk itulah petani
sangat rentan jika terjadi pengurangan distribusi air. Karena kebutuhan akan air
khususnya distribusi air yang kian menipis tersebut, akan mengurangi debit air yang
dialirkan ke petak sawah petani. Sehingga persaingan dalam perolehan air menjadi
bagian yang tak terpisahkan mengiringi krisis air pada saat musim kemarau.
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mendeskripsikan; (1) Bagaimanakah
proses munculnya konflik irigasi antar petani pemanfaat irigasi (2) Bagaimana
masyarakat petani menyelesaikan konflik irigasi. Lokasi penelitian ini dipilih
berdasarkan alasan bahwa; (1) Masyarakat petani di daerah ini pengguna air untuk
irigasi pertanian jumlahnya cukup banyak. Di desa Wongsorejo terdapat dua wilayah
pertanian yaitu bagian utara “Sudung” dan bagian selatan “Widhara Kurung”.
Wilayah selatan merupakan tempat penelitian karena wilayah ini memiliki luas 52 ha
dengan 114 petani (2) Kondisi geographinya kering sehingga kebutuhan akan air
tinggi dan menyebabkan tingkat persaingan semakin tajam. Daerah bagian selatan
utamanya, kebutuhan akan air untuk irigasi sangat tinggi terkait dengan komoditas
tanam palawija (3) Frekuensi konfliknya tinggi, menurut informasi dari penduduk
lokal konflik mulai terjadi saat dirasa banyaknya jumlah petani, hampir setiap hari
terjadi perebutan air pada musim kemarau (4) Meskipun daerahnya kering, namun
daerah ini di dominasi oleh sawah dan bertani merupakan mata pencaharian utama
masyarakat di Desa Wongsorejo (5) pertimbangan faktor jarak juga memungkinkan
vi
peneliti untuk mudah mengakses lokasi penelitian. Dalam penelitian ini ada 10 petani
yang menjadi informan pokok dan 3 informan tambahan. Tipe penelitian ini
menggunakan metode kualitatif. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian
ini adalah diskriptif kualitatif. Tujuan penggunaan metode ini adalah untuk membuat
suatu gambaran yang sistematis, aktual, akurat mengenai fakta-fakta dan sifat suatu
populasi atau daerah tertentu. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa implementasi
terjadinya konflik berawal dari masuknya warga luar daerah untuk memiliki lahan
pertanian di desa ini. Hal ini disebabkan karena hasil produksi dan ketersediaan air
yang bagus. Namun, lambat laun keadaan ini berubah karena kebutuhan petani yang
meningkat akan pemakaian air tetapi tidak diimbangi dengan ketersediaan air itu
sendiri sehingga muncullah konflik. Konflik perebutan air irigasi antar petani
disebabkan oleh faktor-faktor kepentingan. Perbedaaan kepentingan antar petani yaitu
petani hulu sering meminta perpanjangan waktu irigasi sehingga petani yang bagian
hilir terpaksa menggunakan mesin bor untuk mencukupi kebutuhan irigasi pada saat
musim kemarau. Memudarnya kelembagaan pengaturan seperti kinerja Jaga Tirta
yang tidak profesional ikut menyumbangkan terjadinya konflik di masyarakat petani
secara sistematis yaitu jarang mencatat laporan petani yang ingin mengairi sawahny
sehingga, terjadi benturan jadwal antar petani, konflik tidak terhindarkan karena
masing-masing dari mereka merasa sudah melapor atau meminta jadwal pengairan
sawah. Selama ini kinerja Jaga Tirta semakin tidak efektif, bahkan ada kecendrungan
mengejar keuntungan dari petani yang berusaha membayar untuk mendapatkan air.
Akibatnya petani menjadi tidak percaya kepada Jaga Tirta, akhirnya para petani
bekerja berdasarkan kemauan sendiri. Muncullah pelanggaran peraturan oleh
sebagian pengguna air, seperti melanggar jadwal gilir atau meningkatkan kapasitas
pengambilan air. Akibatnya tumbuh rasa saling tidak percaya di antara para pengguna
air. Kondisi tersebut mendorong para pengguna untuk memperebutkan air. Hingga
keadaan ini menjelma menjadi konflik terbuka. Disisi lain, konflik irigasi
dikarenakan lemahnya penerapan sanksi yang berlaku. Sanksi yang dibuat tidak
berdasarkan kesepakatan semua pengguna air. Oleh karena itu, pengaturan atas hak-
hak dan kewajiban-kewajiban yang ada dipandang masih belum adil oleh semua
pihak, akibatnya pelanggaran terus terjadi. Dari sejarah knflik irigasi di atas
selanjutnya bentuk aktualisasi dari manifestasi petani dalam memperoleh air meliputi;
(1) Memutus aliran air yang masuk kepetak sawah petani yang lain (2) Merebut
kesempatan jadwal giliran air. Petani menggunakan cara “langsung lapor” yaitu
ketika proses ngêlêp berlangsung ia langsung meminta jadwal penentuan hari kapan
ia bisa dapat air (3) Mendahalui pemakaian air dengan pasang pupuk terlebih dahulu.
Memperoleh air dengan memasang rabuk tanpa adanya laporan terlebih dahulu pada
Jaga Tirta (4) Penyuapan. Pendekatan kepada Jaga Tirta dengan memberi “dua
bungkus rokok atau “uang “(Rp. 50.000-Rp. 100.000,-) (5) Status sosial ekonomi
sebagai sarana memperoleh akses air. Petani yang memiliki ekonomi tinggi akan
lebih diutamakan daripada petani yang lainnya. Dari uraian tentang sejarah konflik
dan bentuk manifestasi yang dilakukan petani, maka dikeluarkanlah sanksi oleh
HIPPA (Himpunan Petani Pemakai Air). Pada kenyataannya lambat laun sistem
sanksi ini tidak lagi berpengaruh bagi petani yang melanggar, masih saja terjadi
pencurian air di sawah. Untuk itulah, tindakan selanjutnya adalah ikatan diantara
mereka diperkuat melalui forum serap aspirasi sebagai ruang bertemu dan bertukar
pikiran diantara mereka. Dari forum ini muncul gagasan untuk memberi keadilan
kepada petani terhadap haknya atas air dengan menerapkan sistem “nomor urut”.
Penerapan nomor urut ini juga didukung dengan melibatkan pihak Jaga Tirta dan
HIPPA dalam menjaga terjadinya pencurian air. Jadi, Jaga Tirta tidak hanya bertugas
menjaga air namun ia juga bertugas memberikan tenaganya untuk membantu
mengairi sawah milik petani yang berhalangan mendapatkan jatah air. Sedangkan
HIPPA, ikut mengontrol keluar masuknya air ke petak sawah. Perubahan struktur ini
untuk mensukseskan kinerja dari program nomor urut. | en_US |