dc.description.abstract | Kecelakaan lalu lintas akan selalu membawa kerugian baik pada manusia
maupun pada benda. Si pelaku yang menimbulkan kerugian tersebut dapat
dipertanggungjawabkan baik secara pidana maupun secara perdata. Dalam ketentuan
Pasal 310 ayat (3) Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan menyatakan karena kealpaan atau kesalahannya menyebabkan orang
lain mendapat luka-luka berat dan Pasal 310 ayat (4) Undang-undang Nomor 22 Tahun
2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Dalam peristiwa kecelakaan lalu lintas
yang menyebabkan orang lain meninggal dunia, maka proses peradilan menjadi faktor
utama untuk menentukan siapakah yang bersalah dalam hal kecelakaan tersebut,
sebagaimana kajian yang dilakukan terhadap Putusan Pengadilan Negeri Nganjuk
Nomor 50/PID.B/2015/PN.NJK. Permasalahan dalam skripsi ini meliputi 2 (dua) hal
yaitu ; (1) Apakah pembuktian dalam Putusan Pengadilan Nganjuk Nomor 50/Pid.B/
2012/PN.Njk sudah sesuai dengan prinsip pembuktian dalam ketentuan Pasal 183
KUHAP ? dan (2) Apakah pemberian santunan oleh terdakwa kepada korban dapat
menjadi hal yang meringankan bagi pertimbangan hakim dalam penjatuhan pidana ?
Guna mendukung tulisan tersebut menjadi sebuah karya tulis ilmiah yang dapat
dipertanggung-jawabkan, maka metode penelitian dalam penulisan skripsi ini
menggunakan pendekatan undang-undang (statute approach), dan pendekatan
konseptual (conceptual approach).
Kesimpulan penelitian yang diperoleh adalah, Pertama : Pembuktian khususnya
saksi yang dihadirkan di persidangan adalah tidak sesuai. Dalam hal ini saksi tersebut
adalah Yekti Mintarsih yaitu sebagai istri korban. Dalam hal ini patut untuk
dipertanyakan kapasitasnya sebagai saksi apakah ia mendengar atau melihat sendiri
kejadian tersebut. Saksi merupakan alat bukti yang sah karena mereka melihat,
mendengar, dan mengalami sendiri suatu keadaan yang berkaitan dengan adanya
tindak pidana dan dibawah sumpah namun dalam hal ini istri korban tidak layak
menjadi saksi yang tentunya ia tidak mengetahui bagaimana peristiwa kecelakaan lalu
lintas yang menyebabkan suaminya meninggal tersebut terjadi. Kedua : Santunan yang
diberikan oleh terdakwa kepada keluarga korban sebenarnya bukan merupakan
peringanan pidana dalam sistem pemidanaan menurut hukum positif. Dalam Putusan
xiii
Pengadilan Nganjuk Nomor 50/Pid.B/2012/PN.Njk pada salah satu pertimbangan
hakim yang meringankan memang tidak disebutkan adanya santunan yang diberikan
oleh terdakwa, namun adanya hal yang meringankan tersebut telah ada perdamaian
antara terdakwa dan keluarga korban. Dalam hal ini pemberian santunan tersebut
diakui oleh saksi Yekti Mintarsih selaku istri korban. Dengan demikian, santunan yang
diberikan oleh pelaku terhadap korban walaupun wajib diberikan sebagaimana
ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, namun hal tersebut bukan sebagai
peringanan pidana walaupun hal itu disebutkan dalam pertimbangan hakim yang
bersifat non yuridis..
Saran yang diberikan bahwa, Pertama : Hakim dalam menjatuhkan putusan
pemidanaan seyogyanya berorientasi pada fakta-fakta yang terungkap di persidangan,
karena di persidangan tersebut semua alat-alat bukti diuji kebenarannya. Dalam hal ini
saksi yang dihadirkan bukan merupakan saksi yang sesuai dengan kapasitasnya
sebagai saksi karena tidak melihat, mendengar, dan mengalami sendiri suatu keadaan
yang berkaitan dengan adanya tindak pidana. Kedua : Pemberian santunan dari
keluarga pelaku kepada korban atau keluarga korban dalam perkara tindak pidana lalu
lintas jalan tidak mempunyai konsekuensi yuridis terhadap pemidanaan pelaku.
Pemberian santunan oleh pelaku kepada korban atau keluarga korban bukan termasuk
bentuk perlindungan hukum terhadap korban, dalam hal ini jenis sanksi yang
dijatuhkan kepada dalam rangka perlindungan korban pidana penjara dan pidana
tambahan dan untuk korban diberikan tindakan sesuai yang ada di dalam Pasal 240
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. | en_US |