dc.description.abstract | Santet merupakan fenomena sosial yang sampai saat ini masih menjadi polemik berkepanjangan, dan kerapkali mengakibatkan keresahan sosial dalam kehidupan masyarakat. Ilmu santet bagi sebagian besar masyarakat Indonesia dianggap sebagai fakta sosial yang akibatnya dapat dirasakan oleh orang yang terkena. Santet merupakan ilmu metafisika yang irrasional yang tidak dapat dijangkau dengan nalar, sementara hukum pidana yang ada saat ini merupakan produk hukum modern yang basisnya menggunakan nalar. Memadukan dunia nalar dengan dunia metafisika adalah sesuatu yang tidak mungkin dan sulit untuk dilakukan.
Perbuatan santet yang tidak di atur dalam sebuah peraturan perundang-undangan berakibat perbuatan tersebut tidak dapat dikategorikan ke dalam perbuatan pidana, akibat terbentur azas nullum delictum yang tertuang dalam pasal 1 ayat (1) KUHP, yang mensyaratkan suatu perbuatan dapat dikatakan perbuatan pidana apabila telah diatur dalam sebuah undang-undang terlebih dahulu. Dampak tidak dapat masuknya perbuatan santet ke dalam perbuatan pidana telah memunculkan reaksi tindakan main hakim sendiri oleh masyarakat terhadap orang-orang yang diduga dukun santet, yang pada tahun 1998 lalu telah mengakibatkan tewasnya ratusan korban jiwa di daerah Banyuwangi dan Jember.
Skripsi dengan judul "Analisis Tindak Pidana Pembunuhan Terhadap Dukun Santet" ini mencoba mengungkap dan menganalisis permasalahan seputar tindakan main hakim sendiri yang dilakukan masyarakat serta implikasinya terhadap yang melakukannya. Disamping itu skripsi ini juga mengupas tentang keberadaan santet itu sendiri serta peluang dan kendalanya apabila nanti dirumuskan sebagai delik. Sebagai fakta untuk menganalisis rumusan masalah dalam skripsi ini diambilkan dari salah satu kasus tindak pidana bermotif santet yang telah disidangkan di Pengadilan Negeri Jember dengan perkara No.9 / Pid.B / 1999 / PN.Jr. Kasus tersebut menghadirkan para terdakwa Iksan, Tohari dan Salim karena telah diduga keras melakukan pembunuhan terhadap Arba'i yang diduga dukun santet atas bujukan Mu'alim dengan imbalan uang sebesar Rp 1.200.000,- (satu juta dua ratus ribu rupiah).
Perbuatan main hakim sendiri menurut teori yang dikemukakan Hamid (1986 : 23), secara tidak tertulis masih diperbolehkan apabila peraturan yang ada ternyata tidak cukup memberikan perlindungan pada masyarakat. Namun pada azasnya perbuatan main hakim sendiri menurut kacamata hukum tetap tidak dapat dibenarkan walaupun dengan alasan apapun. Sejak adanya perjanjian masyarakat (teor Yean Yeques Rossean) setiap perbuatan yang merugikan masyarakat penanganannya telah diwakili oleh negara, sehingga masyarakat sudah tidak diperbolehkan lagi melakukan tindakan-tindakan sendiri yang bersifat sepihak. Disamping itu perbuatan main hakim sendiri pada dasarnya juga bertentangan dengan azas praduga tak bersalah (presumtion of innoncence) yang tertuang dalam pasal 9 ayat (1) UU No.14 / 1970 dan KUHAP.
Darnpak bagi orang yang melakukan tindakan main hakim sendiri, sebagaimana yang terjadi pada kasus lksan, Tohari dan Salim telah mengakibatkan mereka diancam dengan pidana penjara sebagai konsekuensi terbunuhnya Arba'i. Para terdakwa didakwa dengan pasal 338 tentang pembunuhan biasa dijunctokan dengan pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP karena dilakukan lebih dari satu orang.
Dimasukkannya perbuatan santet ke dalam pasal 223 RUU KUHP (baru) dengan mengkriteriakan delik santet sebagai delik formil merupakan sebuah solusi guna mengatasi permasalahan santet yang selama ini mengalami kesulitan dalam pembuktiannya. Dengan delik formil maka pembuktiannya sudah tidak memerlukan suatu akibat dari perbuatan tersebut dan penjeratannya cukup hanya dengan pengakuan dari orang tersebu bahwa ia memiliki ilmu santet.
Diterapkannya pasal 223 RUU KUHP (baru) diharapkan agar dukun santet tidak akan berani lagi menawarkan jasanya untuk menyantet orang karena keberadaan pasal tersebut. Secara umum pasal 223 RUU KUHP ini juga ditujukan untuk mengeleminir tindakan main hakim sendiri dengan motif santet yang sering terjadi selama ini. | en_US |