GAMBARAN KEBUTUHAN PELAYANAN KESEHATAN REPRODUKSI BAGI REMAJA PENYANDANG CACAT DI SMPLB DAN SMALB TPA BINTORO KABUPATEN JEMBER
Abstract
Penyandang cacat termasuk orang yang aktif secara seksual dan memiliki
kebutuhan kesehatan reproduksi yang sama dengan mereka yang tidak menderita
kecacatan. Kenyataannya, penyandang cacat memiliki banyak hambatan untuk
mengakses pelayanan kesehatan reproduksi. Hambatan tersebut muncul dari
berbagai aspek seperti norma dan budaya yang membatasi, keterbatasan
pelayanan, kurangnya alat bantu, lemahnya kemampuan komunikasi para petugas
kesehatan, tidak tersedianya bangunan, marjinalisasi dalam komunitas, buta huruf,
keterbatasan pendidikan, serta ketidaksetaraan gender. Banyak remaja
penyandang cacat yang tidak mendapatkan informasi kesehatan bahkan informasi
dasar tentang bagaimana tubuh mereka berkembang dan berubah, dan karena
mereka sering diajarkan untuk diam dan patuh, mereka sangat berisiko mendapat
tindak kekerasan dan pelecehan seksual.
SMPLB dan SMALB A, B, C TPA Bintoro Kabupaten Jember merupakan
salah satu sekolah luar biasa yang memiliki jumlah siswa paling banyak diantara
semua sekolah luar biasa yang ada di Kabupeten Jember yakni sebanyak 36 siswa,
belum mempunyai fasilitas pelayanan kesehatan reproduksi seperti ruang UKS
dan ruang BK dan pemberian informasi mengenai kesehatan reproduksi yang belum memadai. Pendidikan tentang kesehatan reproduksi bagi remaja
penyandang cacat juga belum tersedia, guru hanya memberikan pelajaran
kesehatan jika hal tersebut tercantum pada bab tertentu di buku pelajaran mereka.
Pelayanan konseling kesehatan reproduksi belum tersedia, bahkan belum ada
tenaga khusus yang menangani pendidikan dan permasalahan kesehatan
reproduksi pada remaja penyandang cacat. UKS hanya bersifat sebagai tempat
pelayanan kesehatan secara umum, tempat imunisasi, pengukuran berat badan dan
tinggi badan, serta bekerjasama dengan pihak puskesmas kecamatan jika ada
program tertentu dari pemerintah. Akan tetapi hasil studi pendahuluan tersebut
belum sesuai dengan Pedoman Pelaksanaan UKS di Sekolah yang dikeluarkan
oleh Kemendikbud pada tahun 2012 yang menyatakan bahwa standar fasilitas
pelayanan kesehatan reproduksi adalah terpenuhinya indikator sarana prasarana,
pendidikan kesehatan, pelayanan kesehatan, dan pembinaan lingkungan sekolah
sehat.
Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan kebutuhan pelayanan
kesehatan reproduksi bagi remaja penyandang cacat di SMPLB dan SMALB TPA
Bintoro Kabupaten Jember. Penelitian ini menggunakan metode penelitian
deskriptif dengan pendekatan kuantitatif. Subjek penelitian dalam penelitian ini
adalah 5 guru dari setiap sekolah dan 36 siswa remaja penyandang cacat. Data
yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data primer, pengambilan data menggunakan metode wawancara, observasi dan dokumentasi. Data tersebut
selanjutnya diolah sesuai dengan kebutuhan peneliti dan disajikan dalam bentuk
teks.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa 87,1%, remaja penyandang
tunanetra memiliki pengetahuan tinggi mengenai kesehatan reproduksi, 59,3%
remaja tunarungu memiliki pengetahuan sedang dan 37,5% remaja tunagrahita
memiliki pengetahuan kesehatan reproduksi paling rendah. Remaja tunanetra yang
menyatakan sikap postif terhadap kesehatan reproduksi sebesar 90%, remaja
tunarungu memiliki sikap positif sekitar 55,3%, dan remaja tunagrahita memiliki
sikap positif terhadap kesehatan reproduksi paling rendah yakni hanya 27,8%.
Fasilitas pelayanan kesehatan reproduksi yang dimiliki oleh SMALB B sudah
90% sesuai dengan Pedoman Pelaksanaan UKS di Sekolah yang dikeluarkan oleh
Kemendikbud, fasilitas pelayanan kesehatan reproduksi SMPLB dan SMALB A
sekitar 76,6%, fasilitas pelayanan kesehatan reproduksi SMPLB B sekitar 63,2%,
sedangkan fasilitas pelayanan kesehatan reproduksi yang dimiliki SMALB C dan
SMPLB C hanya 49,9% dan 43,2% yang sesuai dengan Pedoman Pelaksanaan
UKS di Sekolah. Remaja tunanetra 98,5% menyatakan membutuhkan pelayanan
kesehatan reproduksi, 59,3% remaja tunarungu menyatakan membutuhkan
pelayanan kesehatan reproduksi, sedangkan remaja tunagrahita menyatakan
membutuhkan pelayanan kesehatan reproduksi paling rendah yakni hanya sekitar 28,2%.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut diharapkan pihak sekolah dapat
mengidentifikasi kebutuhan kesehatan reproduksi siswa, mengupayakan adanya
kegiatan ekstrakurikuler kesehatan reproduksi untuk setiap jenis kecacatan, serta
mampu mengupayakan tersedianya guru BK yang bisa memberikan konseling
kesehatan reproduksi kepada siswa remaja penyandang cacat.
Collections
- UT-Faculty of Public Health [2227]