Show simple item record

dc.contributor.advisorSUGIJONO
dc.contributor.advisorWIDIYANTI, Ikarini Dani
dc.contributor.authorARIFIN, Miftahul
dc.date.accessioned2015-12-18T00:42:20Z
dc.date.available2015-12-18T00:42:20Z
dc.date.issued2015-12-18
dc.identifier.nim090710101151
dc.identifier.urihttp://repository.unej.ac.id/handle/123456789/67797
dc.description.abstractRumusan masalah yang akan dibahas adalah : (1) apakah syarat-syarat poligami yang terdapat di dalam Undang-undang nomor 1 tahun 1974 telah memberikan perlindungan terhadap hak istri? Dan (2) apakah akibat hukumnya apabila perkawinan poligami tidak mendapatkan ijin dari istri? Tujuan umum penulisan ini adalah : untuk memenuhi syarat-syarat dan tugas guna mencapai gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jember, menambah wawasan ilmu pengetahuan dalam bidang hukum khususnya hukum lingkup hukum perdata. Tujuan khusus dalam penulisan untuk mengetahui dan memahami mengenai: (1) perlindungan hak istri dalam poligami dan (2) mengetahui dan memahami akibat hukum perkawinan poligami yang tidak mendapat izin dari istri pertamanya. Metode penelitian dalam penulisan skripsi ini menggunakan tipe penelitian yuridis normatif, artinya permasalahan yang diangkat, dibahas dan diuraikan dalam penelitian ini difokuskan dengan menerapkan kaidah-kaidah atau normanorma dalam hukum positif. Pendekatan masalah menggunakan pendekatan undang-undang dengan bahan hukum yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder dan bahan non hukum. Analisa bahan penelitian dalam skripsi ini menggunakan analisis normatif deskriptif. Guna menarik kesimpulan dari hasil penelitian yang sudah terkumpul dipergunakan metode analisa bahan hukum deduktif. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa, Syarat-syarat poligami dalam Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan telah memberikan perlindungan terhadap hak istri. Suami yang ingin berpoligami wajib memenuhi ketentuan pasal 5 ayat (1) Undang-undang Perkawinan yaitu: a). Adanya persetujuan dari istri/istri-istri; Persetujuan ini dapat berupa pernyataan hitam diatas putih atau tertulis. Dalam pasal 40 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 memberikan penjelasan bahwa seorang suami yang bermaksud untuk mengambil istri baru atau berpoligami, maka diwajibkan memohon ijin tertulis dari pengadilan. Pengadilan akan meneliti terkait alasan pemohon yakni sang suami untuk melakukan poligami telah sesuai dengan ketentuan Undangxiii undang Perkawinan dan untuk memastikan bahwa sang suami telah melakukan izin poligami secara lisan maka istri atau para istri harus mengulang ijin didepan pengadilan. Terkait persetujuan atau ijin secara lisan dari sang istri diperjelas dalam Pasal 41 huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, yang berbunyi: Ada atau tidaknya persetujuan dari istri, baik persetujuan lisan maupun tertulis, apabila persetujuan lisan maka harus diucapkan di depan Pengadilan. b). Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluankeperluan hidup istri- istri dan anak-anak mereka. Untuk menentukan secara konkrit terkait jaminan yang pasti adalah sulit, hakim diharuskan mengukur secara objektif dari jumlah kekayaan saat permohonan diajukan. Jumlah kekayaan ini dapat berupa surat keterangan penghasilan suami yang ditandatangani oleh kantor tempat suami bekerja, surat keterangan pajak pengahasilan atau surat-surat lain yang dapat dipergunakan sebagai pertimbangan oleh Pengadilan. Jadi kepastian yang diamksud dalam ketentuan Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan adalah penilaian Hakim berdasarkan kekayaan yang ada pada saat permohonan diajukan, bukan kepastian yang bersifat absolut. c). Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka. Terkait menentukan jaminan bahwa sang suami berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka juga sulit, Hakim harus bisa memastikan layak atau tidak seorang suami untuk membuat surat pernyataan untuk berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka, karena suami yang ingkar janji dan tidak konsekuen dapat dilakukan penuntutuan ke Pengadilan. Akibat hukum dari perkawinan poligami yang tidak mendapat ijin dari istri pertama adalah tidak sah. Perkawinan yang tidak sah sudah tentu tidak dapat dicatat dalam undang-undang perkawinan. Akibatnya perkawinan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat terhadap para pihak yang melaksanakan perkawinan poligami tanpa memenuhi ketentuan pasal 5 ayat (1) undang-undang perkawinan. Oleh karena itu, bagi suami yang ingin poligami benar-benar harus melalui ketentuan undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan.en_US
dc.language.isoiden_US
dc.subjectPOLIGAMIen_US
dc.subjectHAK ISTRIen_US
dc.titleTINJAUAN YURIDIS TERHADAP SYARAT POLIGAMI DALAM PERSPEKTIF PERLINDUNGAN TERHADAP HAK ISTRIen_US
dc.typeUndergraduat Thesisen_US


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record