dc.description.abstract | Kesimpulan penelitian yang diperoleh antara lain adalah, Pertama, Pasal 24A
ayat (1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 hanya
menyatakan bahwa calon Hakim Agung diajukan oleh Komisi Yudisial kepada Dewan
Perwakilan Rakyat dan selanjutnya ditetapkan menjadi Hakim Agung dengan Keputusan
Presiden. Hak untuk menyetujui atau menolak inilah yang disebut sebagai hak
konfirmasi yang dimiliki Dewan Perwakilan Rakyat dalam rangka pelaksanaan fungsi
pengawasan terhadap pengangkatan dan pemberhentian pejabat publik yang dipandang
tidak boleh dibiarkan ditentukan sendiri secara sepihak oleh Presiden. Karena itu, fungsi
pengawasan oleh DPR itu dilakukan tidak saja menyangkut pelaksanaan kebijakan
klegislatif berupa (i) tindakan implementasi undang-undang dan (ii) penjabaran
pengaturan undang-undang dalam peraturan pelaksanaan yang lebih operasional, tetapi
juga (iii) dalam bentuk pengawasan terhadap pengangkatan dan pemberhentian pejabat
publik tertentu yang tidak boleh dibiarkan ditentukan sendiri secara sewenang-wenang
oleh Presiden. Kedua, Mekanisme pengangkatan hakim agung menurut Pasal 24A ayat
(3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditetapkan oleh
Presiden setelah menerima calon hakim agung yang disetujui oleh DPR. Dalam hal ini,
DPR dalam kapasitasnya sebagai representasi rakyat hanya memberikan persetujuan atas
calon hakim agung yang diajukan oleh KY. Namun pengangkatan hakim agung yang
demikian, telah diatur secara menyimpang dalam Undang Undang MA dan Undang
Undang KY. Keterlibatan DPR dalam pengangkatan hakim agung dalam Undang
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hanya dalam bentuk
memberikan persetujuan terhadap calon hakim agung yang diajukan oleh KY sebelum
ditetapkan oleh Presiden sebagai hakim agung, bukan dalam bentuk memilih calon. | en_US |