Show simple item record

dc.contributor.advisorANGGRAINI, RINI
dc.contributor.advisorANA, IDA BAGUS OKA
dc.contributor.authorHERDIANTO, TRIONO BUDI
dc.date.accessioned2015-12-03T08:13:30Z
dc.date.available2015-12-03T08:13:30Z
dc.date.issued2015-12-03
dc.identifier.nim090710101210
dc.identifier.urihttp://repository.unej.ac.id/handle/123456789/66234
dc.description.abstractTujuan penulisan yang digunakan agar dalam penulisan skripsi ini dapat diperoleh sasaran yang dikehendaki, maka perlu ditetapkan suatu tujuan penulisan. Adapun tujuan penulisan disini dapat dibagi menjadi 2 (dua) yaitu tujuan secara umum dan tujuan secara khusus. Metode penelitian yang digunakan adalah dengan menggunakan tipe penelitian yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan undang-undang (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Sumber bahan hukum yang digunakan yaitu terdiri dari bahan hukum primer, bahan 16 hukum sekunder, dan bahan non hukum. Sedangkan analisis bahan hukum yang digunakan adalah dengan menggunakan metode deduktif. Penagihan pajak dapat dikelompokan menjadi 2 (dua), yaitu Penagihan Pajak Pasif dan Penagihan Pajak Aktif. Penagihan Pajak Pasif adalah Penagihan yang dilakukan dengan menggunakan Surat Tagihan Pajak (STP), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan yang menyebabkan jumlah pajak terutang menjadi lebih besar. Jika dalam waktu 30 hari belum dilunasi, maka 7 hari setelah jatuh tempo akan diikuti dengan penagihan pajak secara aktif yang dimulai dengan menerbitkan surat teguran. Penagihan Pajak Aktif merupakan kelanjutan dari penagihan pasif, dimana dalam penagihan ini fiskus berperan aktif dalam arti tidak hanya mengirim surat tagihan atau surat ketetapan pajak tetapi akan diikuti dengan tindakan sita, dan dilanjutkan dengan pelaksanaan lelang. Dalam pasal 1 angka 9 Undang-Undang No. 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa, menyatakan penagihan pajak adalah serangkaian tindakan agar penaggung pajak melunasi utang pajak dan penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan surat paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual barang yang telah disita (lelang). Penagihan pajak dalam hukum pajak Indonesia dibagi menjadi beberapa tahapan-tahapan yaitu Surat teguran, surat peringatan, atau surat lain yang sejenis diterbitkan apabila utang pajak yang ditanggung oleh Penaggung pajak tercantum dalam surat tagihan pajak (SPT), surat ketetapan pajak kurang bayar (SKPKB), surat ketetapan pajak kurang bayar tambahan (SKPKBT), tidak dilunasi sampai melewati tujuh (7) hari dari batas waktu jatuh tempo (satu bulan sejak tanggal diterbitkannya), kemudian diterbitkan Surat paksa setelah surat teguran, atau surat peringatan atau surat lain sejenis telah diterbitkan oleh pejabat, dan apabila utang pajak tidak dilunasi oleh penaggung pajak setelah 21 hari dari tanggal surat teguran, lalu diterbitkan Surat perintah melaksanakan penyitaan oleh pejabat untuk melaksanakan penyitaan. Penyitaan itu sendiri adalah tindakan dari juru sita untuk menguasai barang penanggung pajak, guna dijadikan jaminan untuk melunasi utang pajak menurut peraturan perundang-undangan. Dalam waktu empat belas (14) hari setelah tindakan penyitaan, utang pajak belum dilunasi maka akan dilanjutkan dengan tindakan pelelangan melalui Kantor Lelang Negara. Lelang adalah penjualan barang secara lelang atau tidak secara lelang terhadap barang sitaan, maupun menggunakan atau memindah bukukan barang yang disita untuk pelunasan pajak atau boaya penagihan pajak dimaksud. Selama proses penagihan pajak tersebut berlangsung, penaggung pajak mempunyai hak untuk keberatan kepada pejabat pajak, sesuai dengan yang tertuang dalam pasal 37 Undang-Undang no. 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa, bahwa penanggung pajak dapat melaksanakan gugatan terhadap pelaksanaan surat paksa, jika gugatan tersebut dikabulkan maka penanggung pajak dapat memohon pemulihan nama baik dan ganti rugi terhadap pejabat pemerintah yang berwenang. Dalam hukum pajak perlindungan hukum itu sendiri dibagi dalam beberapa bagian yaitu Perlindungan Hukum Preventif dan Perlindungan Represif. Perlindungan hukum preventif dilakukan sebagai upaya pencegahan agar tidak terjadi benturan kepentingan-kepentingan, benturan kepentingan yang dimaksud adalah benturan kepentingan antara wajib pajak atau penanggung pajak disatu pihak dengan publik di pihak lain. Oleh karena itu perlindungan hukum preventif merupakan sesuatu yang sangat penting untuk dilakukan, sehingga harus mendapat perhatian penuh. Berbeda dengan perlindungan hukum preventif yang bersifat mencegah kemungkinan terjadinya benturan kepentingan, perlindungan hukum represif merupakan instrumen di bidang hukum yang perlu, guna mencari penyelesaian ketika telah terjadi benturan kepentingan, didalam bidang pajak benturan kepentingan dapat terjadi antara lain karena perbedaan penafsiran dan pendapat antara wajib pajak dan penanggung pajak di satu pihak dengan fiskus dipihak lain mengenai ketentuan perpajakan. Dalam perlindungan hukum represif pengajuan keberatan tersebut harus menguraikan alasannya sesuai dengan penafsiran dan pendapat wajib pajak atau penaggung pajak terhadap ketentuan yang berlaku.en_US
dc.language.isoiden_US
dc.subjectpenagihan pajaken_US
dc.subjectsurat paksa dan perlindungan hukumen_US
dc.subjectpajak terhutangen_US
dc.titleKAJIAN YURIDIS TENTANG UPAYA PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA DAN PERLINDUNGAN HUKUM BAGI TERHUTANG PAJAKen_US
dc.typeUndergraduat Thesisen_US


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record