Show simple item record

dc.contributor.advisorSUDARYANTO, TOTOK
dc.contributor.advisorMULYONO, EDDY
dc.contributor.authorNURENDRA, ARIESTA
dc.date.accessioned2015-12-01T08:01:16Z
dc.date.available2015-12-01T08:01:16Z
dc.date.issued2015-12-01
dc.identifier.nim070710101125
dc.identifier.urihttp://repository.unej.ac.id/handle/123456789/65545
dc.description.abstractKeberadaan Komisi Yudisial yang bersifat mandiri yang pada awal pembentukannya memiliki kewenangan untuk mengusulkan pengangkatan hakim agung dan melakukan pengawasan Kode Etik dan Perilaku Hakim di lingkungan lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman sebagaimana yang telah diamanatkan oleh Pasal 24B UUD 1945. Akan tetapi setelah sekelompok ahli hukum yang berprofesi sebagai Hakim Agung mengajukan permohonan Judicial Review terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman kepada Mahkamah Konstitusi sampai dengan diterbitkannya Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 005/PUU-IV/2006, sehingga Komisi Yudisial sebagai badan pengawas eksternal tidak lagi bersifat independen dalam mengawasi kode etik dan perilaku hakim di lingkungan lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman. Sebelum UUD 1945 mengalami perubahan, satu-satunya lembaga negara yang menjalankan fungsi kekuasaan kehakiman adalah Mahkamah Agung Republik Indonesia beserta lingkungan badan peradilan dibawahnya menurut Undang-undang (lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara). Setelah UUD 1945 mengalami perubahan maka dikenal adanya 2 (dua) lembaga negara yang menjalankan kekuasaan kehakiman yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, ditambah 1 (satu) lembaga yang diberi wewenang khusus oleh UUD 1945 untuk mengusulkan pencalonan Hakim Agung dan melakukan pengawasan eksternal terhadap kode etik hakim, yaitu Komisi Yudisial. Komisi Yudisial dapat dikatakan sebagai organ pendukung yang secara struktural merupakan lembaga negara tetapi dalam protokolernya bukan lembaga negara. Sebenarnya masuknya berbagai konsep auxiliary bodies (yang kemudian kita kenal sebagai lembaga kuasi negara, seperti komisi-komisi) ke Indonesia bermula pada saat dimulainya masa reformasi yang memunculkan tudingantudingan tidak berfungsinya lembaga-lembaga negara formal sehingga diperlukan adanya lembaga-lembaga yang dibentuk oleh rakyat sebagai pelengkap. Keberadaan Komisi Yudisial merupakan kebutuhan dan konsekuensi logis dari perkembangan jaman yang semakin modern yang menuntut suatu negara menuju kearah pemerintahan yang lebih menjamin prinsip checks and balances, transparans dan akuntabel serta partisipatif. Tidak hanya terbatas pada cabangcabang kekuasaan (legislatif, eksekutif dan yudisial), akan tetapi termasuk di dalam masing-masing cabang kekuasaan tersebut. Terbentuknya Komisi Yudisial dimaksudkan untuk menjamin prinsip-prinsip tersebut dapat terlaksana di lingkungan kekuasaan kehakiman. Komisi Yudisial sebagai pengawas eksternal yang menjalankan fungsi checks and balances di lingkungan lembaga yudikatif, Komisi ini mendukung terwujudnya kekuasaan kehakiman yang mandiri yang bebas dari korupsi, demi tegaknya hukum dan keadilan. Dengan demikian, para pencari keadilan tidak merasa kecewa terhadap praktik penyelenggaraan peradilan sehingga rasa keadilan masyarakat dapat terpenuhi. Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 menentukan bahwa wewenang lain Komisi Yudisial adalah “dalam rangka menjaga dan menegakkan”, yang dapat diartikan bahwa wewenang tersebut bukan hanya sebagai tindakan preventif atau korektif, tetapi juga demi meningkatkan pemahaman, kesadaran, kualitas, dan komitmen profesional yang pada akhirnya bermuara pada tingkat kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim yang diharapkan. Hal tersebut bukan hanya timbul dari pengawasan, tetapi juga dari pembinaan dan pendidikan etika profesi bagi para hakim, termasuk pendidikan tentang etika hakim dalam menghadapi masyarakat, serta penelusuran dan penyelidikan atas pelanggaran perilaku hakim, tanpa harus berbenturan dengan independensi Hakim, hal itu membutuhkan pemahaman dan pengalaman yang mendalam yang tidak dapat dilakukan sendiri oleh Komisi Yudisial tanpa dukungan pengawasan internal Mahkamah Agung di lingkungan peradilannya. Dalam konteks yang demikian itulah hubungan kemitraan (partnership) antara Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung sangat diperlukan, tanpa mempengaruhi kemandirian masing-masing lembaga.en_US
dc.language.isoiden_US
dc.subjecteksistensi komisi yudisialen_US
dc.subjectputusan mahkamah konstitusi No. 005/PUU-IV/2006en_US
dc.titleEKSISTENSI KOMISI YUDISIAL PASCA TERBITNYA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 005/PUU-IV/2006en_US
dc.typeUndergraduat Thesisen_US


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record