Show simple item record

dc.contributor.advisorSugijono
dc.contributor.advisorWidiyanti, Ikarini Dani
dc.contributor.authorKUSUMAWARDANI, DEBBY ROUNDRA
dc.date.accessioned2015-12-01T02:52:23Z
dc.date.available2015-12-01T02:52:23Z
dc.date.issued2015-12-01
dc.identifier.nim110710101014
dc.identifier.urihttp://repository.unej.ac.id/handle/123456789/65289
dc.description.abstractPerkawinan yang sah mendambakan hadirnya seorang anak untuk meneruskan keturunan orang tuanya dan menjadi generasi penerus bangsa. Keluarga memiliki peranan yang sangat penting dalam perkembangan mental dan kepribadian anak. Dalam setiap perkawinan tidak semua pasangan dapat mencapai tujuan tersebut dengan baik karena perkawinan merupakan suatu proses penggabungan dua sifat manusia yang berbeda. Perceraian merupakan salah satu sebab bubarnya suatu perkawinan, yang di dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 disamping asas monogami, perceraian mendapat tempat tersendiri karena kenyatannya di dalam masyarakat, perkawinan seringkali terjadi berakhir dengan perceraian yang begitu mudah. Pemeliharaan anak bukan hanya meliputi memberi nafkah lahir saja, tetapi juga meliputi nafkah batin seperti kasih sayang dan pendidikan formal maupun pendidikan informal. Dalam hal ini siapa pun yang melakukan pemeliharaan anak, menurut Pasal 41 UU No. 1 Th. 1974 ayah tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan dan nafkah anak sampai anak berumur 21 tahun. Bagi salah satu orang tua yang melalaikan kewajibannya tersebut menurut Pasal 49 UU No. 1 Th. 1974 dapat dicabut kekuasaannya atas permintaan orang tua yang lain. Hal ini terjadi pada perkara perdata melalui putusan Pengadilan Agama Rangkasbitung Nomor 226/Pdt.G/2009/PA.Rks, dengan posisi kasus sebagai berikut: Penggugat dan Tergugat semula sebagai suami isteri sah yang menikah pada tanggal 9 April 2002, di hadapan petugas Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan Rangkasbitung, sebagaimana Kutipan Akta Nikah Nomor : 382/60/IV/2002 dan dari perkawinan tersebut telah mempunyai 2 orang anak dimana anak pertama adalah laki-laki yang berumur 7 tahun 1 bulan dan anak kedua adalah perempuan yang berumur 4 tahun 5 bulan. Pada tanggal 21 Juni 2006 penggugat dan tergugat telah bercerai di Pengadilan Agama Rangkasbitung dengan putusan Nomor 75/Pdt.G/2006/PA.Rks dan Akta Cerai Nomor: 77/AC/2006/PA.Rks tanggal 10 Juli 2006. Kedua anak hasil dari perkawinan Penggugat dan Tergugat dimana anak pertama diasuh / dibawa oleh Tergugat di Karawang, sedangkan anak kedua diasuh oleh Penggugat di Rangkasbitung. Penggugat menghendaki kedua anak Penggugat dan Tergugat diasuh oleh Penggugat di Rangkasbitung karena masih dibawah umur. Penggugat sempat membuat perjanjian dengan Tergugat tertanggal 18 Januari 2007 tentang kedua anak Penggugat dan Tergugat diserahkan hak asuh kepada Tergugat namun waktu itu kondisi Penggugat dalam keadaan tertekan /terpaksa. Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan suatu permasalahan sebagai berikut: Pertama Apakah pertimbangan hukum hakim dalam memutus perkara pencabutan hak asuh anak Nomor: 226/Pdt.G/2009/PA.Rks telah sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku? Kedua Apa saja akibat hukum atas pencabutan hak asuh anak? Adapun tujuan penelitian skripsi ini ada 2 (dua) yaitu : Tujuan umum penulisan skripsi ini adalah Pertama Memenuhi dan melengkapi tugas sebagai persyaratan yang telah ditentukan guna meraih gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jember; Kedua Memberikan kontribusi atau sumbangan pemikiran dalam bidang ilmu hukum yang bermanfaat bagi almamater xii xiv dan masyarakat pada umumnya. Tujuan khusus penulisan skripsi ini adalah : Pertama Mengetahui dan memahami pertimbangan hukum hakim dalam memutus perkara pencabutan hak asuh anak Nomor: 226/Pdt.G/2009/PA.Rks; Kedua Mengetahui dan memahami akibat hukum dari pencabutan hak asuh anak akibat salah satu orang tua yang melalaikan kewajibannya. Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang telah dijelaskan bahwa : Pertama Akibat hukum dari pencabutan hak asuh anak yaitu salah satu orang tua dicabut hak asuhnya karena kelalaian dalam mengasuh anak dan tidak dapat lagi mengasuh anak tersebut. Sebagaimana yang sudah di jelaskan dalam Pasal 49 UU Perkawinan dan Pasal 156 (c) Kompilasi Hukum Islam. Kedua Pertimbangan hukum majelis hakim dalam putusan Nomor: 226/Pdt.G/2009/PA.Rks telah sesuai dengan dengan ketentuan perundang-undangan yakni sesuaian dengan Pasal 105 KHI bahwa anak mumayyis haruslah diasuh oleh sesorang ibu apabila terjadi perceraian dalam suatu perkawinan karena seorang anak yang belum mumayyis atau belum berusia 12 tahun masih membutuhkan perhatian dan kasih sayang dari seorang ibu yang pada dasarnya lebih memiliki sensitifitas, rasa iba dan kedekatan psikologis dengan anak daripada pemeliharaan yang dilakukan oleh seorang ayah. Adapun saran yang dapat penulis berikan sehubungan dengan penulisan skripsi ini, yaitu : Pertama Dalam perkara pencabutan hak asuh anak dengan alasan-alasan yang menyangkut anak terutama menyangkut rasa aman dan nyaman pada diri anak tersebut seharusnya para orang tua harus lebih mementingkan kepentingan dan kebutuhan anak terlebih dahulu mengingat pada usia 12 tahun/belum mumayyiz anak masih membutuhkan perhatian, kasih kasayang, dan pendidikan yang baik dari orang tua. Kedua Majelis hakim dalam memutus perkara Nomor: 226/Pdt.G/2009/PA.Rks dalam pertimbangannya selain berpedoman pada Pasal 105 juga dapat menggunakan Pasal 156 (c) Kompilasi Hukum Islam. Pemberian hak hadhanah juga harus menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak sehingga akan memberikan rasa aman dan nyaman terhadap anak yang diasuh sebagaimana yang sudah di jelaskan dalam Pasal 156 (c) tersebut.en_US
dc.language.isoiden_US
dc.subjectHAK ASUH ANAKen_US
dc.titlePENCABUTAN HAK ASUH ANAK AKIBAT SALAH SATU ORANG TUA MELALAIKAN KEWAJIBAN (Studi Putusan Pengadilan Agama Rangkasbitung Nomor : 226/Pdt.G/2009/PA.Rks)en_US
dc.typeUndergraduat Thesisen_US


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record