dc.description.abstract | Latar belakang skripsi ini adalah pelaku usaha perfilman melanggar Pasal
4 butir a dan c UUPK menyatakan bahwa konsumen berhak atas kenyamanan,
keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa serta
berhak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa.
Permasalahan skripsi ini adalah bagaimana penentuan kriteria jenis dan
kategorisasi film yang dapat dikonsumsi oleh konsumen perfilman ditinjau dari
UU Perfilman, tanggung jawab pelaku usaha jasa perfilman dalam melindungi
kepentingan konsumen perfilman, dan upaya hukum yang dapat dilakukan oleh
konsumen jika dirinya dirugikan dari tayangan film yang dia konsumsi ditinjau
dari UUPK.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan Perundangundangan
(Statute Approach) yaitu pendekatan yang mengkaji penerapan kaidahkaidah
atau norma-norma dalam hukum positif, seperti undang-undang, peraturanperaturan,
meliputi Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, Undang-undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan,
Peraturan Pemerintah 18 tahun 2014 tentang lembaga sensor dan pendekatan
Konseptual (Conceptual Approach) yaitu beranjak dari pandangan-pandangan dan
doktrin-doktrin didalam ilmu hukum meliputi prinsip tanggung jawab berdasarkan
kesalahan (liability based on fault).
Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari permasalahan adalah pertama,
Penentuan kriteria jenis dan kategorisasi film dibagi menjadi 4 golongan usia.
Kedua, pelaku usaha berkewajiban untuk senantiasa beritikad baik dalam
melakukan kegiatan usahanya sebagaimana dalam Pasal 7 angka 1 UUPK. Pelaku
usaha dalam hal ini pengusaha bioskop bertanggung jawab memberikan ganti
kerugian atas jasa yang diperdagangkan berupa pengembalian uang sebagaimana
dalam Pasal 19 ayat 2. Dalam Pasal 1365 KUHPerdata Pengusaha bioskop
bertanggung jawab mengganti kerugian imateriil. Pengusaha Bioskop wajib
mencantumkan penggolongan usia penonton film dalam Pasal 7 UU Perfilman.
Ketiga, Penyelesaian sengketa konsumen tidak menutup kemungkinan
dilakukannya penyelesaian secara damai oleh para pihak yang bersengketa, yaitu
pelaku usaha dan konsumen. Jika tidak menemui jalan damai, pemerintah
membentuk BPSK untuk penyelesaian sengketa konsumen diluar pengadilan.
Adapun saran penulis adalah pertama, didalam Pasal 19 UUPK hendaknya
mengatur mengenai tanggung jwab pelaku usaha atas kerugian imateriil yang
diderita konsumen. Kedua, pelaku usaha sebagai salah satu bagian elemen bangsa
hendaknya memperhatikan kepentingan konsumen, artinya turut menjaga hak-hak
konsumen agar tidak sampai terciderai dan pelaku usaha wajib bertanggung jawab
jika ada konsumen yang merasa dirugikan dengan mencari jalan damai atau
mengikuti proses hukum yang dihadapinya secara patut. Ketiga, lembaga-lembaga
terkait meliputi Pemerintah, BPSK dan LSF harus bersinergi menindak tegas
pelaku usaha yang melanggar hak-hak konsumen. | en_US |