Show simple item record

dc.contributor.advisorJAYUS
dc.contributor.advisorSOETIJONO, IWAN RACHMAD
dc.contributor.authorROSASARI, IMARIA
dc.date.accessioned2015-11-28T05:07:41Z
dc.date.available2015-11-28T05:07:41Z
dc.date.issued2015-11-28
dc.identifier.nim110710101226
dc.identifier.urihttp://repository.unej.ac.id/handle/123456789/64957
dc.description.abstractSetiap negara mempunyai kewajiban untuk memberikan pemulihan dalam hal terjadi sesuatu pelanggaran terhadap kewajiban di bawah hukum internasional untuk menghormati dan memastikan penghormatan terhadap hak asasi manusia, termasuk kewajiban untuk mencegah pelanggaran, kewajiban untuk menyelidiki pelanggaran, kewajiban untuk mengambil tindakan yang layak terhadap para pelanggar, kewajiban untuk memberikan penanganan hukum kepada para korban. Negara harus memastikan bahwa tidak ada orang yang mungkin bertanggung jawab atas pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia akan mempunyai kekebalan dari tanggung jawab atas tindakan mereka. Dalam berbagai kasus Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia, seringkali pusat perhatian lebih ditujukan kepada para pelaku. Perhatian lebih ditekankan pada persoalan bagaimana menangkap, mengadili, dan menghukum para pelaku. Sementara hak-hak para korban yang bersifat massal cenderung diabaikan. Setiap pelanggaran hak asasi manusia, apakah dalam kategori „berat‟ atau bukan, senantiasa menerbitkan kewajiban Negara untuk mengupayakan pemulihan (reparation) kepada para korbannya. Dengan demikian, pemenuhan terhadap hak-hak korban harus dilihat sebagai bagaian dari usaha pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia secara keseluruhan. Tidak ada hak asasi manusia tanpa pemulihan atas pelanggarannya. Pentingnya korban memperoleh pemulihan sebagai upaya menyeimbangkan kondisi korban yang mengalami gangguan, dengan tepat dikemukakan oleh Muladi saat menyatakan: Korban kejahatan perlu dilindungi karena pertama, masyarakat dianggap sebagai suatu wujud system kepercayaan yang melembaga (system of institutionalized trust). Terjadinya kejahatan atas diri korban akan bermakna penghancuran sistem kepercayaan tersebut sehingga pengaturan hukum pidana dan hukum lain yang menyangkut korban akan bermakna penghancuran sistem kepercayaan tersebut. Kedua, adanya argument kontrak sosial dan solidaritas sosial karena Negara boleh dikatakan memonopoli seluruh reaksi terhadap kejahatan dan melarang tindakan-tindakan yang bersifat pribadi. Oleh karena itu, jika terdapat korban kejahatan maka Negara harus memperhatikan kebutuhan korban dengan cara peningkatan pelayanan maupun pengaturan hak. Ketiga, perlindungan korban yang biasanya dikaitkan dengan salah satu tujuan pemidanaan, yaitu penyelesaian konflik. Dengan penyelesaian konflik yang ditimbulkan oleh adanya tindak pidana akan memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat. Pengaturan dalam Undang – Undang No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban sedikit berbeda dengan Undang-Undang No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang juga memberikan pengaturan atas hak kompensasi dan restitusi kepada korban pelanggaran berat hak asasi manusia. Untuk implementasi hak-hak korban tersebut, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi Terhadap korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat. Ganti kerugian kepada korban pelanggaran HAM yang berat dibebankan kepada dua pihak yakni pelaku kejahatan dan Negara. Pelaku kejahatan atau pihak ketiga dibebankan untuk mengganti kerugian korban, dan inilah yang didefinisikan dengan „restitusi‟. Sementara dalam kompensasi, pembebanan biaya ganti kerugian kepada korban dilakukan oleh pemerintah ketika pelaku atau pihak ketiga tidak mampu membayar ganti kerugian secara penuh kepada korban. Dengan ketentuan ini, muncul konsep tanggung jawab Negara terhadap korban kejahatan (korban pelanggaran HAM berat). Pada beberapa Kasus-kasus Pelanggaran HAM Berat di Indonesia, seperti pada kasus Timor-Timur, kasus Tanjung Priok dan kasus Abepura, Dari ketiga kasus yang diperiksa dan diadili di pengadilan HAM, putusan-putusan yang dijatuhkan tidak secara keseluruhan membuktikan adanya pelanggaran HAM yang berat berupa kejahatan terhadap kemanusiaan. Ketidakberhasilan membuktikan dakwaan atau perbedaan putusan dalam menentukan ada tidaknya perbuatan yang termasuk kejahatan kemanusian sangat tergantung dari penafsiran atas unsur-unsur kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana disebutkan diatas. Maka meskipun adanya korban dalam pelanggaran tersebut, tidak dipastikan korban mendapatkan kompensasi atau restitusi. Kompensasi, restitusi dan rehabilitasi dalam kasus pelanggaran HAM yang berat sampai saat ini masih menyisakan persoalan terutama terkait pemenuhannya. Hampir tidak ada korban yang mendapatkan hak-hak tersebut meskipun 3 (tiga) pengadilan telah dilaksanakan. Beberapa pertanyaan penting untuk menilai persoalan hak-hak korban adalah mengenai status korban yang perkaranya tidak terbukti bahwa terdapat pelanggaran HAM yang berat. Masalah lainnya adalah pemberian kompensasi yang “seolah-olah” digantungkan pada aspek kesalahan terdakwa.en_US
dc.language.isoiden_US
dc.subjectPERLINDUNGAN HUKUMen_US
dc.subjectHAK ASASI MANUSIAen_US
dc.titlePERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN PELANGGARAN BERAT HAK ASASI MANUSIAen_US
dc.typeUndergraduat Thesisen_US


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record