Show simple item record

dc.contributor.authorADITHIA MAULIDA ALI
dc.date.accessioned2015-02-23T06:49:07Z
dc.date.available2015-02-23T06:49:07Z
dc.date.issued2015-02-23
dc.identifier.nimNIM100710101084
dc.identifier.urihttp://repository.unej.ac.id/handle/123456789/61389
dc.description.abstractLembaga peradilan merupakan instrument terpenting dalam sistem sistem ketatanegaraan sebuah negara. Indonesia yang secara tegas disebutkan dalam konstitusi sebagai negara hukum, maka patutlah adanya sebuah lembaga peradilan sebagai lembaga penegak tiang-tiang hukum tersebut. Sejalan dengan perkembangannya lembaga peradilan menjadi sebuah tempat yang begitu disakralkan oleh hukum. Bahkan oleh masyarakat lembaga peradilan menjadi sebuah hal yang begitu konkrit menjadi tempat legalistik formalisti ditegakkannya aturan perundangan-undangan. Salah satu lembaga peradilan yang begitu sakral tatkala seseorang masuk ke dalamnya, duduk di hadapan para hakim ialah lembaga pengadilan. Namun bukan berarti lembaga peradilan menjadi satu-satunya hal yang patut disakralkan dalam menjalankan hukum tersebut. Dalam ilmu hukum pun dikenal asas “ultitum remedium” (pengadilan adalah jalan terakhir dalam penyeleseian perkara). Semakin berkembangnya pola hidup masyarakat yang cepat, maka semakin bertransformasi pula paradigma masyarakat Indonesia. Semakin dewasa bangsanya maka semakin terlupakan pulalah falsafah hidup pancasila. Lembaga peradilan menjadi lembaga yang begitu disakralkan oleh sebagian masyarakat Indonesia. Lembaga pengadilan seolah-olah menjadi sosok penentu yang final dari sebuah klimaks permasalahan. Tak ada jalan lain selain di pengadilanlah yang telah tersegel dalam diri masyarakat. Seolah-olah kebenaran materiil ialah kebenaran yang muncul dan mutlak ketika 3 orang Yang Mulia berpakaian toga dengan segala kebijaksanaannya. Begitu majelis hakim mengetuk palu putusan, maka di situlah kebenaran itu ada. Entah isi putusan, atau para perwakilan Tuhan (hakim) yang menjadi sosok protagonis dalam cerita tersebut. Namun merekalah para harapan tertinggi masyarakat akan ucapan “keadilan” yang implementatif. Kekuasaan kehakiman sebagai instrumen utama dalam sistem berhukum bangsa, patutlah tercipta independensi yang bebas dan merdeka (independency of judiciary). Hal ini harus mendapat jaminan konstutisional yang kuat agar hakim bebas dari tekanan luar, bujukan, gangguan baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini berkaitan dengan tugas dan wewenang seorang hakim sebagai pencipta keadilan bagi masyarakat. Sebagai “nyawa” yang menggerakkan syarafsyaraf keadilan hakim, independensi adalah juga paradigma, sikap, etos dan etika sehingga keseluruhan totalitas fisik dan non fisik hakim sebagai wakil Tuhan penegak keadilan di muka bumi memiliki legalitas moral, sosial dan spiritual. Agar independensi dapat diemban dengan baik dan benar, hakim harus memiliki kendali pikiran yang bisa memberikan arahan dalam berpikir dan xii bertindak dalam menjalankan aktifitas kehakimannya, yaitu falsafah moral (moral philosophy). Faktor falsafah moral inilah yang penting untuk menjaga agar kebebasan hakim sebagai penegak hukum benar-benar dapat diterapkan sesuai dengan idealisme dan hakekat kebebasan tersebut. Dalam pengertian lain, independensi peradilan harus juga diimbangi dengan pertanggungjawaban peradilan (judicial accountability). Kalau tidak, independensi akan menjadi tameng berlindung guna menyelimuti tindakan amoral dalam kekuasaan kehakiman. Dari uraian diatas maka dapat ditarik suatu permasalahan sebagai berikut: 1) Bagaimanakah Mekanisme Pengawasan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi ? 2) Bagaimanakah Peranan Majelis Kehormatan dalam mengawasi Hakim di Lingkup Mahkamah Konstitusi berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi? Tujuan dari penulisan ini terbagi menjadi 2 (dua), yaitu: tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum dalam penulisan skripsi ini yaitu: untuk memenuhi syarat yang diperlukan guna meraih gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jember, Sedangkan tujuan khususnya yaitu untuk mengetahui dan mengkaji permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini. Tipe penulisan dalam skripsi ini adalah yuridis normatif sedangkan pendekatan masalah yaitu dengan mengunakan Undang-Undang dan konseptual. Metode pengumpulan bahan hukum yang digunakan adalah sumber bahan hukum primer, sumber bahan hukum sekunder, dan bahan non hukum serta analisa bahan hukum. Pada bab pembahasan, akan membahas mengenai 2 (dua) hal yang terdapat dalam rumusan masalah. Dalam rangka mengawasi pelaksanaan tugas para hakim, perlu diatur adanya dua jenis pengawasan, yaitu : pertama, pengawasan internal dilakukan oleh Badan Pengawas (Mahkamah Agung) dan Majelis Kehormatan (Mahkamah Konstitusi). Pengawasan yang dilakukan oleh Badan Pengawas pada MA ini bersifat internal dan berfungsi sebagai pengawas terhadap pelaksanaan tugas-tugas peradilan di semua tingkatan dan di seluruh wilayah hukum peradilan Republik Indonesia. Begitu pula dengan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi yang berwenang melakukan pengawasan internal. Kedua, Pengawasan yang bersifat eksternal dilakukan oleh sebuah komisi independen yang dinamakan Komisi Yudisial. Keberadaan lembaga pengawas eksternal ini penting agar proses pengawasan dapat benar-benar bertindak objektif untuk kepentingan pengembangan sistem peradilan yang bersih, efektif dan efisien.en_US
dc.language.isootheren_US
dc.relation.ispartofseries100710101084;
dc.subjectKEWENANGAN MAJELIS KEHORMATAN DALAM MENGAWASI HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSIen_US
dc.titleKEWENANGAN MAJELIS KEHORMATAN DALAM MENGAWASI HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI BERDASARKAN UNDANGUNDANG NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSIen_US
dc.typeOtheren_US


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record