dc.description.abstract | Lembaga peradilan merupakan instrument terpenting dalam sistem sistem
ketatanegaraan sebuah negara. Indonesia yang secara tegas disebutkan dalam
konstitusi sebagai negara hukum, maka patutlah adanya sebuah lembaga peradilan
sebagai lembaga penegak tiang-tiang hukum tersebut. Sejalan dengan
perkembangannya lembaga peradilan menjadi sebuah tempat yang begitu
disakralkan oleh hukum. Bahkan oleh masyarakat lembaga peradilan menjadi
sebuah hal yang begitu konkrit menjadi tempat legalistik formalisti ditegakkannya
aturan perundangan-undangan. Salah satu lembaga peradilan yang begitu sakral
tatkala seseorang masuk ke dalamnya, duduk di hadapan para hakim ialah
lembaga pengadilan.
Namun bukan berarti lembaga peradilan menjadi satu-satunya hal yang
patut disakralkan dalam menjalankan hukum tersebut. Dalam ilmu hukum pun
dikenal asas “ultitum remedium” (pengadilan adalah jalan terakhir dalam
penyeleseian perkara). Semakin berkembangnya pola hidup masyarakat yang
cepat, maka semakin bertransformasi pula paradigma masyarakat Indonesia.
Semakin dewasa bangsanya maka semakin terlupakan pulalah falsafah hidup
pancasila. Lembaga peradilan menjadi lembaga yang begitu disakralkan oleh
sebagian masyarakat Indonesia. Lembaga pengadilan seolah-olah menjadi sosok
penentu yang final dari sebuah klimaks permasalahan. Tak ada jalan lain selain di
pengadilanlah yang telah tersegel dalam diri masyarakat. Seolah-olah kebenaran
materiil ialah kebenaran yang muncul dan mutlak ketika 3 orang Yang Mulia
berpakaian toga dengan segala kebijaksanaannya. Begitu majelis hakim mengetuk
palu putusan, maka di situlah kebenaran itu ada. Entah isi putusan, atau para
perwakilan Tuhan (hakim) yang menjadi sosok protagonis dalam cerita tersebut.
Namun merekalah para harapan tertinggi masyarakat akan ucapan “keadilan”
yang implementatif.
Kekuasaan kehakiman sebagai instrumen utama dalam sistem berhukum
bangsa, patutlah tercipta independensi yang bebas dan merdeka (independency of
judiciary). Hal ini harus mendapat jaminan konstutisional yang kuat agar hakim
bebas dari tekanan luar, bujukan, gangguan baik secara langsung maupun tidak
langsung. Hal ini berkaitan dengan tugas dan wewenang seorang hakim sebagai
pencipta keadilan bagi masyarakat. Sebagai “nyawa” yang menggerakkan syarafsyaraf
keadilan
hakim,
independensi
adalah
juga
paradigma,
sikap,
etos
dan
etika
sehingga
keseluruhan totalitas fisik dan non fisik hakim sebagai wakil Tuhan
penegak keadilan di muka bumi memiliki legalitas moral, sosial dan spiritual.
Agar independensi dapat diemban dengan baik dan benar, hakim harus
memiliki kendali pikiran yang bisa memberikan arahan dalam berpikir dan
xii
bertindak dalam menjalankan aktifitas kehakimannya, yaitu falsafah moral (moral
philosophy). Faktor falsafah moral inilah yang penting untuk menjaga agar
kebebasan hakim sebagai penegak hukum benar-benar dapat diterapkan sesuai
dengan idealisme dan hakekat kebebasan tersebut. Dalam pengertian lain,
independensi peradilan harus juga diimbangi dengan pertanggungjawaban
peradilan (judicial accountability). Kalau tidak, independensi akan menjadi
tameng berlindung guna menyelimuti tindakan amoral dalam kekuasaan
kehakiman. Dari uraian diatas maka dapat ditarik suatu permasalahan sebagai
berikut:
1) Bagaimanakah Mekanisme Pengawasan Majelis Kehormatan Mahkamah
Konstitusi ?
2) Bagaimanakah Peranan Majelis Kehormatan dalam mengawasi Hakim di
Lingkup Mahkamah Konstitusi berdasarkan Undang-Undang Nomor 8
tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi?
Tujuan dari penulisan ini terbagi menjadi 2 (dua), yaitu: tujuan umum dan
tujuan khusus. Tujuan umum dalam penulisan skripsi ini yaitu: untuk memenuhi
syarat yang diperlukan guna meraih gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Jember, Sedangkan tujuan khususnya yaitu untuk mengetahui dan
mengkaji permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini.
Tipe penulisan dalam skripsi ini adalah yuridis normatif sedangkan
pendekatan masalah yaitu dengan mengunakan Undang-Undang dan konseptual.
Metode pengumpulan bahan hukum yang digunakan adalah sumber bahan hukum
primer, sumber bahan hukum sekunder, dan bahan non hukum serta analisa bahan
hukum. Pada bab pembahasan, akan membahas mengenai 2 (dua) hal yang
terdapat dalam rumusan masalah.
Dalam rangka mengawasi pelaksanaan tugas para hakim, perlu diatur
adanya dua jenis pengawasan, yaitu : pertama, pengawasan internal dilakukan
oleh Badan Pengawas (Mahkamah Agung) dan Majelis Kehormatan
(Mahkamah Konstitusi). Pengawasan yang dilakukan oleh Badan Pengawas
pada MA ini bersifat internal dan berfungsi sebagai pengawas terhadap
pelaksanaan tugas-tugas peradilan di semua tingkatan dan di seluruh wilayah
hukum peradilan Republik Indonesia. Begitu pula dengan Majelis Kehormatan
Mahkamah Konstitusi yang berwenang melakukan pengawasan internal.
Kedua, Pengawasan yang bersifat eksternal dilakukan oleh sebuah komisi
independen yang dinamakan Komisi Yudisial. Keberadaan lembaga pengawas
eksternal ini penting agar proses pengawasan dapat benar-benar bertindak
objektif untuk kepentingan pengembangan sistem peradilan yang bersih, efektif
dan efisien. | en_US |