dc.description.abstract | Istilah-istilah yang Digunakan pada Acara Ritual Petik Pari oleh
masyarakat Jawa di Desa Sumberpucung, Kecamatan Sumberpucung,
Kabupaten Malang (Kajian Etnolinguistik); Bebetho Frederick Kamsiadi,
080110201040; 2013: 73 halaman; Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra
Universitas Jember.
Bahasa adalah alat komunikasi antaranggota masyarakat yang berupa simbol
bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Bahasa merupakan bagian dari
kebudayaan. Bahasa dan kebudayaan merupakan dua sistem yang melekat pada
manusia. Upacara tradisional merupakan salah satu wujud peninggalan kebudayaan.
Kebudayaan berasal dari kata Sansekerta yaitu Buddayah, bentuk jamak dari Buddha
yang berarti „kekal atau abadi‟, sehingga budaya dapat diartikan sebagai hal-hal yang
berhubungan dengan budi dan akal manusia. Dalam kebudayaan masyarakat Jawa
terdapat hubungan timbal antara manusia dan alam sekitarnya. Penelitian ini
bertujuan untuk mendeskripsikan dan menjelaskan bentuk, makna, dan penggunaan
istilah-istilah yang digunakan dalam bidang pertanian pada ritual petik pari oleh
petaniJawa di Desa Sumberpucung Kabupaten Malang.
Penelitian ini dapat dikategorikan sebagai penelitian kualitatif. Dalam
penelitian ini, peneliti menjadikan bahasa sebagai objek yang akan dikaji, sehingga
penelitian ini menggunakan metode penelitian bahasa. Metode penelitian pada
dasarnya dibagi atas tiga tahap, yaitu (a) tahap penyediaan data, dilakukan dengan
cara metode simak yaitu mewawancarai informan yang mengerti tentang ritual petik
pari; (b) tahap analisis data, dilakukan dengan cara metode padan ekstralingual
karena menghubungkan bahasa dan budaya; dan (c) tahap penyajian data, dilakukan
dengan cara menggunakan metode informal dan metode formal. Metode informal
digunakan untuk mendeskripsikan makna, penggunaan dan bentuk-bentuk istilah
pertanian yang terdapat dalam upacara petik pari. Metode formal digunakan untuk
viii
menyajikan istilah-istilah yang ditulis dalam transkripsi fonetis dengan menggunakan
tanda kurung.
Ritus religius terpenting dalam masyarakat Jawa adalah slametan. Dalam
masyarakat agraris (terutama di Jawa), tradisi penghormatan terhadap Dewi Sri masih
berlangsung sampai sekarang. Figur Dewi Sri menjadi simbol dan kerangka acuan
berpikir bagi orang Jawa khususnya petani Jawa di dalam prosesi siklus hidup yaitu
perkawinan, memperlakukan rumah dan tanah pertaniannya. Untuk itu mereka
melaksanakan tradisi petik pari yang dalam pelaksanaannya terdapat beberapa
tahapan. Tahapan-tahapan tersebut antara lain, nyiapne weneh terdapat istilah kowen,
ngekum pari dan ngentas pari; bukak lahan terdapat istilah tamping, ngisi banyu,
mbrojol, mopok, nglawet, nggaru dan ndhadhag; tandur terdapat istilah ndhaut, nas
atau geblake dina, ngerek dan tandur; ngrumat terdapat istilah lep, kokrok, ngemes
dan matun; petik pari terdapat istilah uborampen, sega ingkung, sega gurih, sega
tumpeng atau sega gunungan, sega golong, iwak, kulupan, gedhang raja, bumbu urap
dan cok bakal yang berisi bumbu pepek, wedhi, dhedhek lembut,kaca, suri, wedhak,
janur kuning, kembang telon, menyan, dhuwit receh dan badhek; dan panen terdapat
istilah ngerit, nggeblok, nyilir, nampeni dan ngiteri ghabah. Istilah-istilah yang
terdapat dalam setiap tahapan tersebut mengalami perluasan makna, penyempitan
makna dan tidak mengalami perubahan makna.
Analisis etnolinguistik dalam penelitian ini membandingkan istilah pertanian
yang digunakan petani Jawa di Kecamatan Sumberpucung, Kabupaten Malang
dengan istilah pertanian yang digunakan petani Madura di Kabupaten Jember.Dari
hasil perbandingan tersebut, terdapat perbedaan pada istilah-istilah yang digunakan
petani Jawa dan petani Madura, sedangkan untuk proses-prosesnya dari tahap
persiapan sampai panen sebagian besar memiliki kesamaan. Hanya saja, pada
pertanian Madura tidak terdapat penentuan hari dan tanggal baik untuk mulai
menanam padi dan panen. Selain itu, pada pertanian Madura tidak ada ritual petik
pari sebelum panen seperti yang dilakukan pada pertanian Jawa. | en_US |