dc.description.abstract | Harta Bersama dan Harta Bawaan merupakan salah satu akibat hukum dari
suatu perkawinan. Dimana dalam perolehannya pun tidak dapat disamakan,
dikarenakan bila membahas tentang harta bersama akan menjelaskan pada harta
yang diperoleh suami-istri selama perkawinan berlangsung, tanpa mempersoalkan
terdaftar atau diperoleh atas nama siapa, suami atau istri, sedangkan bila
membahas tentang harta bawaan akan menjelaskan pada harta yang dimiliki
masing-masing suami-istri sebelum mereka melangsungkan perkawinan maupun
setelah perkawinan berlangsung, baik yang berasal dari warisan maupun hibah.
Sepanjang tidak terdapat Perjanjian Kawin maupun bukti otentik dalam akta
perjanjian jual beli yang menyatakan harta benda tersebut adalah harta bawaan
suami atau istri, maka harta benda yang diperoleh selama perkawinan tetap
menjadi harta bersama milik suami-istri dan bila terjadi perceraian maka harta
akan dibagi seperdua untuk suami-istri tersebut.
Rumusan masalah yang diangkat dalam judul skripsi “KEDUDUKAN
HARTA BERSAMA DALAM PERCERAIAN YANG DIANGGAP SUAMI
SEBAGAI HARTA BAWAAN (studi kasus Putusan Pengadilan Agama Jember
No.3108/Pdt.G/2009/PA.Jr)” adalah Apakah jual beli tanah yang diatasnamakan
suami selama perkawinan, tanpa adanya klausula barang asal dianggap sebagai
harta bersama dan bagaimanakah membuktikan bahwa harta yang diperoleh dalam
masa perkawinan sebagai harta bersama berdasarkan Putusan Pengadilan Agama
No.3108/Pdt.G/2009/PA.Jr.
Tujuan umum dari penulisan skripsi ini untuk memenuhi salah satu
persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana Hukum di Universitas Jember,
merupakan bentuk penerapan ilmu yang diperoleh selama perkuliahan di
masyarakat, memberikan kontribusi pemikiran yang diharapkan akan bermanfaat
bagi masyarakat, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jember, dan Alma
Mater serta pihak lain yang berminat atau berkepentingan sehubungan dengan
permasalahan yang dibahas. Tujuan khusus penulisan skripsi ini untuk
ii
mengetahui dan menganalisa jual beli tanah yang diatasnamakan suami selama
perkawinan tanpa adanya klausula barang asal dapat dikatakan sebagai harta
bersama , dan untuk mengetahui dan menganalisa cara membuktikan bahwa harta
yang diperoleh dalam masa perkawinan sebagai harta bersama berdasarkan
Putusan Pengadilan Agama No.3108/Pdt.G/2009/PA.Jr.
Metode Penelitian yang digunakan adalah Yuridis Normatif (Legal
Research), yakni penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidahkaidah
atau norma-norma dalam hukum positif yang berlaku dengan
menggunakan pendekatan perundang-undangan dan konseptual. Sumber bahan
hukum yang dipakai berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder
yang dianalisa secara deduktif.
Kesimpulan dalam skripsi ini yaitu, pertama : Perceraian merupakan
penghapusan perkawinan dengan melalui putusan hakim atau tuntutan salah satu
pihak dalam perkawinan. Putusnya suatu perkawinan karena perceraian dapat
dibagi menjadi dua hal, yaitu: Cerai Talak yang di ajukan oleh pihak suami dan
Cerai Gugat yang diajukan oleh pihak istri. Berdasarkan Putusan Pengadilan
Agama Jember No.3108/Pdt.G/2009/PA.Jr yang mengajukan gugatan perceraian
adalah pihak suami. Dalam suatu perceraian apabila yang mengajukan dari pihak
suami maka setelah putusan berkekuatan hukum tetap tersebut dikeluarkan harus
dilaksanakan ikrar talak oleh pihak suami dihadapan majelis hakim dan pihak istri
yang bersangkutan, bila ikrar talak tersebut tidak dilaksanakan maka status
perceraian tersebut dianggap batal. Apabila yang mengajukan dari pihak istri
maka hanya menunggu putusan dari Pengadilan Agama dan perkawinan antara
pihak suami dan istri tersebut putus tanpa harus mengucapkan ikrar talak oleh
pihak istri. Kedua: Menurut UU Perkawinan harta benda dalam perkawinan dibagi
menjadi 3 macam, yaitu a. Harta Bersama yang diperoleh sesudah suami-istri
berada dalam hubungan perkawinan, atas usaha mereka berdua atau usaha salah
seorang dari mereka tanpa mempersoalkan terdaftar atau diperoleh atas nama
siapa, suami atau istri, b. Harta Bawaan yang telah dimiliki masing-masing suamiistri
sebelum mereka melangsungkan perkawinan, baik yang berasal dari warisan
atau hibah, dan c. Harta Perolehan yang dimilikinya sesudah mereka berada dalam
iii
hubungan perkawinan. Sepanjang tidak diadakan perjanjian kawin yang dilakukan
pada waktu atau sebelum perkawinan mengenai pemisahan harta, maka semua
harta yang diperoleh sepasang suami istri selama dalam perkawinan menjadi harta
benda kepunyaan bersama suami istri. Berdasarkan Putusan Pengadilan Tinggi
Agama Surabaya No.308/Pdt.G/2010/PTA.Sby dan Putusan Mahkamah Agung
No.306 K/AG/2011 yang pada intinya, kedudukan harta bersama dalam suatu
perkawinan baik harta bersama tersebut atas nama suami maupun atas nama istri
bila terjadi perceraian maka harta tersebut dikategorikan sebagai harta bersama
selama perolehannya atau pengupayaannya dilakukan pada saat perkawinan itu
berlangsung dan masih terikat dalam suami istri yang sah serta tidak tercantum
pada akta jual beli yang menyatakan bahwa harta yang dipergunakan dalam
perolehannya berasal dari harta bawaan.
Saran dari penulis yang dapat diberikan yaitu, pertama: Untuk
mengantisipasi agar tidak terjadi konflik dalam perceraian sebaiknya dilakukan
perjanjian kawin yang isinya mengenai pembagian harta dan pelarangan hal-hal
yang dapat merugikan salah satu pihak misalnya perselingkuhan, kekerasan dalam
rumah tangga dll, sehingga bila perceraian itu terjadi maka akan diputus sesuai
dengan isi dari perjanjian kawin tersebut. Kedua: Dalam suatu perkawinan apabila
salah satu pihak suami atau istri melakukan perjanjian jual beli sebaiknya dalam
akta jual beli tersebut dicantumkan pada pasal 6 berasal dari mana harta
pembelian suatu barang tersebut, apakah berasal dari harta bersama atau harta asal
suami maupun istri, sehingga terdapat kepastian hukum dari akta jual beli
tersebut. Ketiga: Apabila dalam suatu perkawinan terjadi perceraian maka
hendaklah seorang suami memberikan tempat tinggal kepada isteri yang telah
ditalak sesuai dengan kemampuannya, karena tempat tinggal itu merupakan
sebagian dari nafkah dan suami dilarang mempersulit isteri dalam masalah tempat
tinggal, walaupun istri tersebut telah ditalak dengan talak raj‟i atau talak
ba‟in. | en_US |