dc.description.abstract | Lahirnya Koperasi syariah karena adanya Surat Keputusan Menteri Negara
Koperasi dan UKM Nomor 91/Kep/M.KUKM/IX/2004 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Kegiatan Usaha Koperasi Jasa Keuangan Syariah. Kemudian diatur
lebih lanjut pada Undang-undang Nomor 17 tahun 2012 tentang Perkoperasian,
khususnya pada pasal 87 ayat (3). Akan tetapi pada pasal tersebut hanya mengatur
koperasi syariah secara kerangka luarnya saja, sementara pada bagaimana cara
pengoperasionalan prinsip syariah pada koperasi syariah tidak dijelaskan di
dalamnya.
Permasalahan yang akan diteliti dalam skripsi ini yaitu pertama apakah
Prinsip Bagi hasil pada Koperasi Syariah sudah diatur dalam Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian, kedua bagaimana Kekuatan Hukum
Fatwa Tentang Bagi Hasil yang dikeluarkan oleh DSN-MUI terhadap Koperasi
Syariah di Indonesia, ketiga Apa bentuk tanggungjawab pengurus koperasi
syariah pada saat koperasi syariah tersebut mengalami kerugian.
Tujuan dari penulisan skripsi ini terdiri tujuan umum yakni untuk
memenuhi dan melengkapi salah satu persyaratan akademis guna memperoleh
gelar Sarjana Hukum pada Universitas Jember dan tujuan khususnya yakni untuk
mengetahui penerapan sistem bagi hasil pada Koperasi Syariah di Indonesia. Tipe
penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah Yuridis Normatif ,
yakni penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah- kaidah atau
norma-norma dalam hukum positif.
Metode pendekatan masalah yang digunakan dalam skripsi ini yaitu
pendekatan perundang-undangan dan konseptual. Bahan hukum yang dipakai
berupa bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Analisis bahan hukum yang
dipergunakan adalah deskriptif normatif, selanjutnya ditarik kesimpulan dengan
menggunakan metode deduksi yang berpangkal dari hal-hal yang bersifat umum
menuju hal-hal yang bersifat khusus.
Koperasi yang menjalankan usahanya dengan prinsip Syariah diatur dalam
Pasal 87 ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 tahun 2012 tentang Perkoperasian,
namun pada penerapan pelaksaannya koperasi syariah didasarkan pada Keputusan
Menteri (Kepmen) Koperasi dan UKM Republik Indonesia No
91/Kep/M.KUKM/IX/2004 tentang Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Usaha
Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS), dan PERMA no. 2 tahun 2008 tentang
KHES sebagai dasar pengoperasionalan Koperasi Syariah. Jika dikaitkan dengan
teori Hans Nawiasky tentang Stufebau Theory (teori hierarki) prinsip bagi hasil
pada koperasi syariah terdapat kekosongan norma hukum di dalam pelaksanaanya,
karena pada Undang-undang tentang Perkoperasian hanya mengatur koperasi
syariah secara kerangka luarnya, tidak menjelaskan bagaimana tata cara
pengoperasionalan prinsip bagi hasil pada Koperasi Syariah. Kekosongan norma
hukum tersebut pada tataran Formell Gesetz karena tidak adanya Undang-undang
yang mengatur secara khusus mengenai prinsip bagi hasil pada Koperasi Syariah.
Mengenai Kekuatan Fatwa DSN Nomor 15/DSN-MUI/IV/2000 tentang Prinsip
Distribusi Hasil Usaha dalam LKS, secara hierarkhi pada UU No. 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan pada Pasal 8 ayat (1 dan 2)
xiii
posisi Fatwa DSN–MUI tidak merupakan suatu jenis peraturan perundangundangan
yang mempunyai kekuatan mengikat secara umum. Namun, pada
Peraturan Bank Indonesia (PBI) menyebutkan bahwa pelaku usaha yang
menggunakan prinsip ekonomi syariah diwajibkan patuh terhadap fatwa DSNMUI,
sehingga Fatwa yang dikeluarkan oleh DSN-MUI mempunyai kekuatan
hukum yang mengikat dan harus dipatuhi oleh pelaku ekonomi syariah. Pada hal
ini berlaku asas Lex Specialis derogat legi generali (hukum yang bersifat khusus
mengesampingkan hukum yang bersifat umum). Tanggung jawab yang diberikan
koperasi syariah, apabila usahanya mengalami kerugian jika dilihat dari perjanjian
pembiayaan musyarakah adalah menjadi tanggung-jawab bersama pengurus dan
anggota koperasi syariah sesuai proporsi modal masing-masing. Namun, hal ini
berbeda apabila pengurus koperasi syariah melakukan miss-management (salah
arus) dan ultra vires (menyimpang dari anggaran dasar Koperasi). Pengurus
koperasi syariah yang bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkannya.
Bentuk tanggung jawabnya adalah penggantian sejumlah uang yang telah di
setorkan kepada koperasi syariah, dengan bersumber dari harta pribadi milik
pengurus koperasi syariah tersebut, sebagaimana secara eksplisit tercantum dalam
pasal 60 ayat (3) dan (4) Undang-Undang nomor 17 tahun 2012 tentang
perkoperasian.
Diakhir penulisan skripsi ini, penulis menyampaikan saran-saran kepada
pihak-pihak yang terkait : Pertama, kepada Pemerintah sebaiknya membuat
Undang-undang yang secara khusus mengatur mengenai Koperasi Syariah,
sehingga tidak adanya tumpang tindih aturan pada pengoperasionalan koperasi
syariah. Kedua, kepada Dewan Pengawas Syariah (DPS) pada saat melaksanakan
perannya sebagai pengawas pada Koperasi syariah harus berpedoman kepada
fatwa-fatwa yang diterbitkan oleh DSN-MUI. Ketiga, kepada Pengurus Koperasi
hendaknya lebih teliti dalam hal Pemberian fasilitas pembiayaan kepada mitra.
Pemberian pembiayaan harus berdasarkan kesepakatan antara pihak koperasi
dengan mitra dan selalu memperhitungkan batas maksimum pemberian
pembiayaan, dan tidak memberikan pembiayaan kepada Mitra Bermasalah,
sehingga hal ini dapat meminimalisir terjadinya pembayaran yang macet yang
menyebabkan koperasi mengalami kerugian. | en_US |