dc.description.abstract | Sejak junta militer berkuasa di Myanmar, junta bersikap otoriter dalam
menjalankan roda pemerintahan. Pada 18 Juni 1989, Junta militer mengubah nama
Burma menjadi Myanmar, namun hal ini tidak mendapat tanggapan positif dari
negara persemakmuran Inggris. Selain itu, pada tanggal 21 Oktober 2010,
pemerintah Junta militer juga mengubah lagu kebangsaan dan bendera negara.
Tidak berhenti sampai disini, keotoriteran Junta militer menjalar hingga gampir ke
seluruh elemen kehidupan rakyatnya. Banyaknya pelanggaran Hak Asasi Manusia
yang terjadi selama pemerintahan Junta militer berkuasa dapat dilihat dari
terbatasnya ruang gerak masyarakat dalam mengemukakan aspirasinya. Rakyat
Myanmar juga tidak diberikan kebebasan untuk memilih pemimpin, dan
sebagainya. Kondisi ini yang menjadi pemicu munculnya gerakan sosial di
Myanmar. Karena rakyat Myanmar sudah merasa jenuh akan kondisi yang ada dan
menginginkan adanya perubahan yang signifikan.
Penelitian ini menggunakan metode analisis deskriptif. Data yang
digunakan hanya data yang bersifat sekunder yang berarti data-data pengamatan
terhadap obyek yang diteliti tidak diperoleh secara langsung, tetapi didapatkan dari
buku-buku jurnal-jurnal terbitan, artikel atau pemberitaan di media massa, karya
tulis yang dianggap relevan, serta informasi yang terdapat di internet.
Hasil penelitian bahwa penyebab munculnya gerakan sosial didukung oleh
tiga faktor pendorong utama. Satu, political opportunity, yaitu munculnya tuntutan
kepada elit untuk membuka kesempatan berpolitik bagi semua masyarakat karena
tidak adanya kebebasan berpolitik. Dua, organizational capacity, yaitu kemampuan
mengorganisir kekuatan yang dipimpin oleh Au Sang Suu Kyi. Tiga, framing
ability, yaitu adanya kemampuan dalam membingkai ide atau aspirasi orang atau
kelompok tertentu yang terdiri dari kelompok agamawan, etnis minoritas,
masyarakat sipil dan mahasiswa. Dengan adanya tiga aspek tersebut, gerakan sosial
di Myanmar dapat terwujud. | en_US |