dc.description.abstract | Adapun kesimpulan dalam skripsi ini adalah kedudukan wanita Bali dalam keluarga dan pewarisan sistem kekeluargaan patrilineal (kapurusa) yang dianut orang Bali-Hindu menyebabkan hanya keturunan berstatus kapurusa yang dianggap dapat mengurus dan meneruskan swadharma (tanggung jawab) keluarga, baik dalam hubungan dengan parahyangan (keyakinan Hindu), pawongan (umat Hindu), maupun palemahan (pelestarian lingkungan alam sesuai dengan keyakinan Hindu). Konsekuensinya, hanya keturunan berstatus kapurusa sajalah yang memiliki swadikara (hak) terhadap harta warisan. Keturunan
berstatus pradana tidak mungkin dapat meneruskan swadharma, sehingga disamakan dengan orang yang meninggalkan tanggung jawab keluarga (ninggal kadaton). Dan, oleh karena itu, dianggap tidak berhak atas harta warisan dalam keluarga. Anak perempuan yang dirubah statusnya dengan melakukan perkawinan nyeburin/nyentana, dimana pihak laki-laki setelah perkawinan berlangsung ikut masuk (nyeburin/nyentana) ke keluarga istrinya sehingga kedudukannya tidak lagi sebagai pihak purusa, akan tetapi ia berkedudukan sebagai pradana. Sebaliknya, mempelai perempuan berkedudukan sebagai pihak purusa.
Dalam hal anak-anak yang lahir dari perkawinan nyeburin akan masuk pada marga keluarga ibunya, dan ia sebagai pelanjut keturunan ibunya dan leluhur dalam garis lurus keatas dari ibunya, oleh karena itu ia sebagai ahli waris ibunya. Hai itu disebabkan karena si ibu berkedudukan selaku purusa, sedangkan si bapak (suami) berkedudukan sebagai predana. Itu berarti si anak tidak ada hubungan kepurusa dengan keluarga asal bapaknya. Maka anak ini akan mempunyai hak dan kewajiban terhadap ibu dan keluarga dalam garis lurus keatas ibu. Sedangkan perceraian bagi umat Hindu di Bali dapat dikatakan sah apabila dilaksanakan menurut hukum adat Bali (disaksikan prajuru banjar atau desa pakraman) dan agama Hindu. Manakala, ada sementara warga yang telah cerai secara sah berdasarkan putusan pengadilan, tetapi tidak diketahui oleh sebagian besar krama desa (warga) dan tidak segera dapat diketahui oleh prajuru desa pakraman. Kenyataan ini membawa konsekuensi kurang baik terhadap keberadaan hukum adat Bali, dan menyulitkan prajuru desa dalam menentukan swadharma atau tanggung jawab krama desa bersangkutan. Akibat hukum yang muncul dari perkawinan nyeburin/nyentana :
a). Setelah perceraian, pihak yang berstatus pradana (istri dalam perkawinan biasa atau suami dalam perkawinan nyeburin) kembali ke rumah asalnya dengan status mulih daa atau mulih taruna, sehingga kembali melaksanakan swadharma berikut swadikaranya di lingkungan keluarga asal; b). Masing-masing pihak berhak atas pembagian harta gunakaya (harta bersama dalam perkawinan) dengan prinsip pedum pada (dibagi sama rata); c). Setelah perceraian, anak yang dilahirkan dapat diasuh oleh ibunya, tanpa memutuskan hubungan hukum dan hubungan pasidikaran anak tersebut dengan keluarga purusa, dan oleh karena itu anak tersebut mendapat jaminan hidup dari pihak purusa. | en_US |