Show simple item record

dc.contributor.authorKOKO SETYO HUTOMO
dc.date.accessioned2013-12-07T04:11:26Z
dc.date.available2013-12-07T04:11:26Z
dc.date.issued2013-12-07
dc.identifier.nimNIM060710191020
dc.identifier.urihttp://repository.unej.ac.id/handle/123456789/5951
dc.description.abstractSalah satu bentuk perkawinan yang ada dan mulai dikenal di masyarakat adalah istilah perkawinan misyar. Perkawinan misyar adalah sebuah bentuk perkawinan dimana wanita itu tidak menuntut hak yang sepatutnya diperoleh dalam perkawinan yaitu nafkah lahir. Wanita tersebut telah mencabut haknya terhadap lakilaki yang mau menikahinya dan wanita tersebut hanya menuntut nafkah batin saja. Perkawinan misyar ini biasanya berlaku kepada wanita yang berkedudukan tinggi atau berharta yang banyak tetapi masih belum kawin karena belum ada laki-laki yang mau dekati wanita tersebut. Berdasarkan pengamatan penulis, laki-laki bukan tidak mau memperisteri wanita itu tetapi karena wanita itu lebih berharta dari laki-laki itu. Jadi, atas dasar faktor itu laki-laki enggan untuk dekati wanita yang kaya. Rumusan Masalah meliputi : (1) Bagaimanakah status hukum perkawinan misyar menurut hukum Islam ? (2) Bagaimanakah keabsahan anak dari perkawinan misyar ? dan (3) Bagaimana pembagian waris dari perkawinan misyar ? Tujuan umum penulisan ini adalah : untuk memenuhi syarat-syarat dan tugas guna mencapai gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jember, menambah wawasan ilmu pengetahuan dalam bidang hukum khususnya hukum perdata. Tujuan khusus dalam penulisan adalah untuk memahami dan mengetahui : (1) status hukum perkawinan misyar menurut hukum Islam, (2) keabsahan anak dari perkawinan misyar dan pembagian waris dari perkawinan misyar. Metode penelitian dalam penulisan skripsi ini menggunakan tipe penelitian yuridis normatif, artinya permasalahan yang diangkat, dibahas dan diuraikan dalam penelitian ini difokuskan dengan menerapkan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif. Pendekatan masalah menggunakan pendekatan undang-undang dan pendekatan konseptual, dengan bahan hukum yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder dan bahan non hukum. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa Perkawinan misyar yang juga dikenali sebagai perkawinan musafir. Perkawinan ini bukanlah tipe nikah yang dianjurkan Islam, tetapi nikah seperti ini diperbolehkan karena adanya desakan kebutuhan, imbas dan perkembangan masyarakat dan karena berubahnya keadaan xiii serta perkembangan zaman, dengan catatan akad nikahnya harus dilaksanakan karena kalau akad sampai ditiadakan maka nikahnya batal. Perkawinan misyar pada hakekatnya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan biologis (naluri seks) sekaligus memuliakan dan menjaga agar tidak tergelincir dalam perbuatan zina. Perkawinan wanita dalam perkawinan misyar bila ditinjau dari hukum perkawinan adalah wajib jika ia bertujuan positif. Perkawinan misyar dilakukan di bawah tangan atau sudah memenuhi rukun dan syarat dalam perkawinan dalam hukum Islam namun tidak dicatatkan, maka perkawinan tersebut tidak sah menurut hukum perkawinan dalam Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan demikian pula dengan anak yang dilahirkan adalah tidak sah secara hukum walaupun sah perkawinannya menurut agama Islam. Dari keabsahan perkawinan misyar berikut keabsahan anak dari perkawinan misyar, tentunya anak dari hasil perkawinan misyar berhak memperoleh harta warisan dari kedua orang tuanya karena ia adalah anak kandung dari hubungan suami istri dalam perkawinan tersebut. Sama halnya dengan anak dalam hukum perkawinan Islam bahwa anak perempuan bila hanya seorang ia mendapatkan separuh bagian. Bila dua orang atau lebih mereka bersama-sama mendapatkan dua pertiga bagian dan apabila anak perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki maka bagian anak laki-laki adalah dua berbanding satu dengan anak perempuan. Saran yang dapat diberikan bahwa hendaknya perkawinan misyar dapat dijadikan sebagai pedoman dalam hukum perkawinan namun dengan tujuan yang baik dan positif, karena dasar hukumnya adalah ijtihad ulama. Sebagaimana yang telah disepakati para ulama bahwa sumber hukum adalah Al-Qur'an, al-Hadist, ijma, qiyas. Keempat sumber hukum tersebut diberlakukan secara berurutan dari yang pertama sampai yang terakhir.Perkawinan misyar merupakan fenomena baru dalam perkawinan, sehingga diperlukan ijtihad yang baru pula. Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa menurut Yusuf Qardhawi kawin misyar dibolehkan dengan syarat utamanya adanya kerelaan dari pihak istri untuk melepaskan sebagian haknya dari pihak suami. Dengan demikian, masih perlu ada perbaikan terhadap ijtihad tersebut sehingga perkawinan misyar tidak disalahgunakan untuk tujuan yang negatif dalalam kehidupan bermasyarakat.en_US
dc.language.isootheren_US
dc.relation.ispartofseries060710191020;
dc.subjectPERKAWINAN MISYARen_US
dc.titleKAJIAN YURIDIS TERHADAP PERKAWINAN MISYAR MENURUT HUKUM ISLAMen_US
dc.typeOtheren_US


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record