dc.description.abstract | Sediaan farmasi terdiri dari obat, bahan obat, obat tradisional dan
kosmetika. Hal mengenai obat yakni obat memiliki komposisi dan dosis sesuai
dengan diagnosa dokter terhadap suatu penyakit. Secara yuridis, pengertian
sediaan farmasi diatur dalam Undang-undang tentang Kesehatan pada Pasal 1
angka 4 UU No. 36 Tahun 2009 yakni sediaan farmasi adalah obat, bahan obat,
obat tradisional dan kosmetika. Terkait dengan sediaan farmasi, Putusan Nomor
305/Pid.Sus/2010/PN.Jr sangat menarik untuk dikaji karena yang menjadi pelaku
dalam perkara ini bukan petugas farmasi, melainkan seorang kuli bangunan dan
tidak memiliki keahlian di bidang farmasi.
Perbuatan yang dilakukan terdakwa tersebut oleh Penuntut Umum
didakwa dengan bentuk dakwaan tunggal. Pasal yang didakwakan adalah pasal
197 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Atas dakwaan
yang telah diajukan oleh Penuntut Umum, Hakim Pengadilan Negeri Jember
dalam Putusan Nomor 305/Pid.Sus/2010/PN.Jr menyatakan bahwa terdakwa tidak
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tidak pidana
mengedarkan sediaan farmasi yang tidak memiliki izin edar, dan membebaskan
terdakwa. Permasalahan yang dianalisis oleh penulis yakni : apakah Pasal 197
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan mengatur mengenai
mengedarkan sebagai subjek, memproduksi dan obat yang tidak memiliki izin
sebagai obyek apabila ditinjau dari segi penafsiran gramatikal dan apakah putusan
bebas oleh majelis hakim di dalam putusan nomor 305/Pid.Sus/2010/PN.Jr sudah
sesuai dengan fakta persidangan.
Permasalahan, pertama, bila digunakan metoda gramatikal, maka unsurunsur
yang dimaksud dalam pasal 197 menurut Jaksa Penuntut Umum adalah
setiap orang, dengan sengaja, dan memproduksi atau mengedarkan sediaan
farmasi dan atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana
dimaksud dalam pasal 106 ayat (1). Penerapan metode gramatikal pada Pasal 197
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan berdasarkan Putusan
xiii
Hakim yaitu perbuatan terdakwa tidak memenuhi unsur tindak pidana
sebagaimana di sebutkan dalam pasal 197 Undang-Undang No. 36 Tahun 2009
Tentang kesehatan. Jadi, penulis berpendapat bahwa hakim telah keliru
menafsirkan Pasal 197 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009. Kedua,
pemberian putusan bebas hakim dalam Putusan Pengadilan Negeri Jember Nomor
305/Pid.Sus/2010/PN.Jr dimana terdakwa dinyatakan bebas dari tuntutan hukum.
Jadi, adanya ketidaksesuaian fakta-fakta persidangan terhadap kasus ini yaitu
hakim tidak memperhatikan surat dakwaan tersebut. Surat dakwaan tersebut
menuntut terdakwa dengan Pasal 197 UU Nomor 36 Tahun 2009.
Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah tipe penelitian
menggunakan yuridis normatif, pendekatan masalah yang digunakan adalah
Pendekatan Perundang-undangan (Statute Approach). Sumber bahan hukum yang
digunakan yaitu bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Analisis bahan
hukumnya dilakukan dengan tahap sebagai berikut mengidentifikasi fakta hukum
dan mengeliminir hal-hal yang tidak relevan dan menetapkan permasalahan yang
dibahas, pengumpulan bahan-bahan hukum, melakukan telaah atas permasalahan
yang akan dibahas, menarik kesimpulan yang menjawab permasalahan yang akan
dibahas, memberi preskripsi berdasarkan argumentasi yang telah dibangun di
dalam kesimpulan.
Kesimpulan, pertama, bila digunakan metoda gramatikal, maka unsurunsur
yang dimaksud dalam pasal 197 Undang-Undang tentang Kesehatan adalah
unsur setiap orang yaitu setiap orang selaku subyek hukum. Kedua, putusan bebas
terhadap terdakwa tidak sesuai dengan fakta yang terungkap di persidangan
karena berdasarkan pembuktian dilakukan oleh JPU yang menggunakan Pasal 197
UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, terbukti bahwa subyek / terdakwa
tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada Pasal 197.
Saran, pertama, fakta persidangan sebaiknya tidak diabaikan oleh pihak
hakim supaya setiap seseorang yang melakukan peredaran sediaan farmasi yang
tidak memiliki izin edar tidak diputus bebas begitu saja. Kedua, JPU sebaiknya
membuat surat dakwaan lebih profesional lagi dan tuntutannya supaya tidak
diputus bebas oleh hakim maupun putusan lepas. | en_US |