dc.description.abstract | Penelitian ini menggunakan kerangka logika non linear Modernity dan
paradigma intepretive dalam membangun kerangka teori. Modernitas membentuk
Risk Society Ulrich Beck digunakan dalam membangun setting Risk Culture dari
Scott Lash dan secara berkelanjutan berkaitan dengan Cultural Trauma Jeffrey C.
Alexander dan Piort Stompka. Hal ini menjadi penting ketika Konsepsi Risk Society
yang berujung pada pembacaan tatanan masyarakat dengan logic struktural dan
manegerial, menjadi terbatas pada pembacaan tentang kemunculan Subjek, disisi lain
Subjek yang menjadi penelitian ini adalah mereka yang terbentuk secara traumatik
dan kondisi traumatis yang dihidupinya menjadi bagian dari budaya.
Permasalahannya kemudian atas dasar apakah dan akan kemanakah kerangka berfikir
dari yang sosial dan Subjek traumatisnya, kerangka ini yang oleh peneliti
konsepsikan sebagai Reflektivitas keseharian Subjek traumatis dalam formasi Risk
Culture.
Peneliti memilih untuk hidup bersama dengan salah satu Subjek dalam jangka
waktu 2,5 bulan, dari keterlibatan langsung pada Subjek traumatik dan dalam formasi
Risk Culture yang dihidupinya, kemudian disusun beberapa hasil penelitian sebagai
berikut; Pertama, mengenai Sejarah Jember dalam formasi Risk Culture. Pada bagian
ini dijelaskan sejarah panjang dalam formasi Risk Society dan secara spesifik
menjelaskan desa sebagai basis keruangan Subjek serta Kondisi Sosiokultural. Pada
bagian ini banyak menjelaskan sejarah kondisi Jember dengan basis pertanian
khususnya perkebunan yang menyerap tenaga kerja sekaligus kontribusinya atas arus
migrasi. Eksploitasi yang terjadi secara terus menerus berpotensi membentuk
ancaman-ancaman traumatis dalam kehidupan manusia.
Kedua, Memory Akan Bencana sebagai Determinasi Traumatis. Dibagian ini
dijelaskan mengenai kejadian banjir bandang di Panti dan upaya penyelamatan
korban. Kondisi ini kemudian menjadi awal dari banyaknya kekacauan atas
kehancuran struktur sosial kemasyarakatan. Dalam kondisi terdiamnya Subjek
mengingat kembali hal-hal yang dimiliki dalam kehidupan masa lalunya sekaligus
merasakan sakitnya atas kehilangan harta bendanya. Kondisi tersebut menciptakan
sensitivitas-sensitivitas di posko pengungsiaan ketika terjadi ketidakmerataan dalam
distribusi kesejahteraan. Kekacauan dan sensitivitas di posko pengungsian selalu
direfleksikan pada sebuah pengharapan atas kehidupan yang lebih baik. Dari kondisi
ini menjadi alasan pihak-pihak yang memiliki otoritas atas korban dalam
membangunkan rumah relokasi kurang lebih 8 bulan sebagai upaya menata kembali
kehidupan korban.
Ketiga, kembalinya yang traumatis dalam reflektivitas Subjek. Refleksi
pengalaman traumatisnya menjadi yang dipelajari dan dimiliki dalam kehidupan
“Baru”nya. Serangkaian pengalaman traumatis yang dipelajari membangun preferensi
rasio yang kuat dalam alam sadarnya. Dalam kehidupan “Baru”nya Subjek
merefleksikan hal-hal yang pernah hadir dalam dirinya. Hal ini terjadi karena
keterbatasan yang ada di rumah relokasi. Keterbatasan kemudian menjadi batasan
antara masa lalunya dengan kehidupan “Baru”nya sehingga membentuk trauma yang
dihidupi semakin bermunculan.
Keempat, menghidupi yang traumatis: keseharian Subjek dalam formasi Risk
Culture. Subbab ini menjelaskan medan pertarungan antara ketidakmampuan Subjek
dengan kenyataan yang dihadapi. Ketidakmampuan Subjek pada situasi tidak
kondusif dan menjadi penanda yang menyerupai pengalaman banjir bandang,
khususnya pada musim penghujan menyebabkan memori traumatisnya bermunculan.
Subjek menginsepsi trauma yang dimilikinya dengan bentuk-bentuk ketakutannya
terhadap hujan yang deras, angin yang kencang, petir, gemuruh air sungai dan juga
pemadaman dimalam hari. Ketakutan ini kemudian banyak diipertukarkan dalam
interaksi sosial Subjek, secara sadar maupun tidak sadar kondisi inilah yang
membentuk preferensi rasio Subjek lain. | en_US |