dc.contributor.author | Nurul Ghufron | |
dc.date.accessioned | 2014-07-08T02:45:11Z | |
dc.date.available | 2014-07-08T02:45:11Z | |
dc.date.issued | 2014-07-08 | |
dc.identifier.uri | http://repository.unej.ac.id/handle/123456789/58069 | |
dc.description.abstract | Saksi dalam sistem peradilan pidana dipandang secara fungsional yaitu keterangannya
merupakan alat bukti hukum. Pandangan ini terlihat sejak KUHP hingga Undang-Undang
Perlindungan Saksi dan Korban. Kenyataanya saksi hingga saat ini masih tidak cukup
terlindungi. Intimidasi bahkan serangan hukum balik banyak dialami saksi.
Ketidakterlinduginya saksi menyebabkan peradilan pidana tidak dapat mengungkapkan
kebenaran materiil yang diharapkan untuk memberikan keadilan. Bahkan peradilan pidana
banyak jatuh pada peradilan yang korup. Selain secara fungsional perlu juga dikaji secara
struktural. Dengan pendekatan masalah bagaimana kedudukan saksi dalam sistem peradilan
pidana Indonesia dan konsep apa yang sebaiknya digunakan kedepan. Diharapkan dengan
menemukan kedudukan saksi selayaknya dengan konnsekwensi hukum sesuai kedudukan
tersebut. Sehingga secara aplikatif dapat dijadikan dasar untuk memberikan perlindungan bagi
saksi dan peradilan pidana dapat mencapai kebenaran materiil. Sehingga secara filosofis
penelitian ini berkontribusi dalam menciptakan peradilan yang adil dan menghindarkan dari
penyelewengan. Penelitian ini dilakukan dengan metode normatif berdasarkan konstitusi,
peraturan perundang-undangan dan praktek diperadilan. Serta dengan membandingkan dengan
sistem peradilan pidana negara lain dan perkembangan sistem hukum internasional.
Kedudukan saksi dalam sistem peradilan pidana Indonesia sesungguhnya berkonfigurasi dari
hanya sebagai adalah supporting sistem yaitu sebagai alat bukti sampai sebagai partisipasi
warga negara dalam penegakan hukum. Hal ini terjadi karena rentang pengaturan yang relatif
panjang mulai zaman revolusi industri hingga zaman globalisasi dewasa ini. Sehingga dalam
praktek keberadaan saksi menjadi ambigu utamanya terhadap serangan hukum sangat tidak
terlindungi. Dimasa yang akan datang semestinya saksi dikuatkan dalam kedudukannya sebagai
partispasi warga negara penyandang hak dan kewajiban. Partisipasi menghendaki kesamaan
posisi yang artinya saksi selayaknya menjadi bagian dari sistem peradilan pidana, dengan posisi
demikian diharapkan dari saksi akan terungkap keterangan lebih obyektif. Hal ini
berkonsekwensi merubah pandangan bahwa bersaksi adalah wajib menjadi keseimbangan antara
berhak atas keadilan dan berkewajiban berparsipasi dalam sistem peradilan pidana sesuai
konsep negara hukum Pancasila yang demokratis. Pendekatan pendekatan kriminalisasi juga
diganti menuju penghargaan. Konsekuensinya bagi seorang saksi yang juga tersangka
(whistleblower) antara sanksi pidana yang seharusnya ia tanggung dapat dipertukarkan dengan
penghargaan yang seharusnya ia terima. Hal ini dapat dijadikan landasan yuridis untuk
memberikan pembebasan bagi saksi tersangka yang membongkar kejahatannya. Berbeda
dengan konsep protection of cooperating person di Amerika dan PBB yang dilandasi dengan
dasar konsep “melepas teri untuk menangkap kakap” yang menempatkan saksi sebagai umpan. | en_US |
dc.language.iso | other | en_US |
dc.relation.ispartofseries | Jurnal ANTI KORUPSI;Vol. 2 No. 2 Nopember 2012 | |
dc.subject | saksi, kebenaran, partispasi | en_US |
dc.title | KEDUDUKAN SAKSI DALAM MENCIPTAKAN PERADILAN PIDANA YANG BEBAS KORUPSI | en_US |
dc.type | Article | en_US |