dc.description.abstract | Praktik hukum acara Mahkamah Konstitusi di Indonesia berkembang
dengan sangat cepat dan dinamis. Banyak putusan Mahkamah Konstitusi baik
dalam perkara pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar maupun
dalam perkara perselisihan hasil Pemilihan Umum dan Pemilihan Umum Kepala
Daerah (Pemilukada) yang mengundang perdebatan akademis dan menarik untuk
didiskusikan. Salah satu putusan tersebut adalah putusan Mahkamah Konstitusi
tentang penanganan perkara pemilihan umum kepala daerah di kota Manado yang
putusannya merujuk pada yurisprudensi Mahkamah Konstitusi No.41/PHPU.DVI/
2008 tanggal 2 Desember 2008 (Pemilukada Jawa Timur), Putusan Mahkamah
Konstitusi No.17/PHPU.D-VIII/2010 tanggal 11 Juni 2010 (Pemilukada kota
Sibolga), Putusan Mahkamah Konstitusi No.41/PHPU.D-VIII/2010 tanggal 6 Juli
2010 (Pemilukada Kabupaten Mandailing Natal), dan Putusan Mahkamah
Konstitusi No.45/PHPU.D-VIII/2010 tanggal 7 Juli 2010 (Pemilukada Kabupaten
Kota Waringin Barat). Dengan adanya uraian tersebut, penulis ingin mengkaji lebih
dalam tentang yurisprudensi Mahkamah Konstitusi sebagai sumber hukum dalam
menyelesaikan perkara perselisihan hasil pemilihan umum dan pemilihan umum
kepala daerah.
Permasalahan dalam skripsi ini meliputi 2 (dua) hal yaitu (1) Apakah
yurisprudensi Mahkamah Konstitusi mengikat para hakim konstitusi dalam
memeriksa, mengadili dan memutus perkara perselisihan hasil pemilihan umum
yang diajukan ? dan (2) Apakah implikasi yurisprudensi terhadap isi dalam
ketentuan Pasal 24 C ayat (1) UUD 1945. Tujuan umum dilaksanakannya penulisan
hukum ini antara lain : untuk memenuhi syarat-syarat dan tugas guna mencapai
gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jember, menambah
wawasan ilmu pengetahuan dalam bidang hukum khususnya Hukum Tata Negara.
Metode penelitian dalam penulisan skripsi ini menggunakan pendekatan masalah
pendekatan undang-undang (statute approach) dan pendekatan konseptual
xiii
(conceptual approach). Bahan hukum yang dipergunakan adalah bahan hukum
primer, bahan hukum sekunder serta bahan non hukum sebagai penunjang.
Hasil penelitian yang diperoleh antara lain bahwa Praktik hukum acara
Mahkamah Konstitusi di Indonesia memperlihatkan bahwa yurisprudensi
Mahkamah Konstitusi terutama dalam hal perkara pemilihan umum dan atau
pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) di Indonesia telah menjadi sumber
hukum bagi para hakim konstitusi yang memainkan peranan yang sangat penting
dalam praktik peradilan di Mahkamah Konstitusi di Indonesia. Sebagai salah satu
sumber hukum formal maka yurisprudensi penting eksistensinya apabila
dikorelasikan terhadap tugas hakim. Apabila dikaji dari aliran legisme maka
peranan yurisprudensi relatif kurang penting karena diasumsikan semua hukum
terdapat dalam undang-undang. Sedangkan menurut aliran Freie Rechtsbewegung
maka hakim dalam melaksanakan tugasnya bebas untuk melakukan apa yang ada
menurut undang-undang ataukah tidak.
Jurisprudensi Mahkamah Konstitusi berimplikasi terhadap ketentuan Pasal
24C ayat (1) UUD 1945, akan tetapi mengingat substansi dan motivasi penerapan
yurisprudensi tersebut, serta doktrin hukum tata negara yang memberikan
kemungkinan untuk itu, maka penerapan yurisprudensi tersebut dibenarkan
sepanjang dilakukan untuk melengkapi kebutuhan dalam pengaturan praktik
penyelenggara negara, terlindunginya hak-hak konstitusional warga negara dan
tegaknya nila-nilai demokrasi di Indonesia.
Saran yang diberikan bahwa hendaknya hakim tidak selalu terikat dengan
yurisprudensi tersebut, karena sifatnya persuasif. Hal itu timbul jika hakim
menganggap penerapan hukum pada putusan sebelumnya memang adil dan layak,
sehingga hakim mengikutinya lebih lanjut sebagai yurisprudensi. Namun demikian
hakim tidak terikat dengan hal tersebut. Pada prinsipnya hakim itu bebas memutus,
asal ada pertimbangan yang menguatkan putusan yang lain itu. Tidak ada batasan
harus berapa kali dipakai lalu harus dianggap sebagai yurisprudensi tetap. Suatu
putusan dijadikan yurisprudensi jika memenuhi sejumlah unsur. Pertama, putusan
atas suatu peristiwa hukum yang belum jelas pengaturannya dalam undang-undang.
Kedua, putusan tersebut harus merupakan putusan yang telah berkekuatan hukum
xiv
tetap. Ketiga, telah berulang kali dijadikan dasar untuk memutus suatu perkara yang
sama. Keempat, putusan tersebut telah memenuhi rasa keadila | en_US |