Show simple item record

dc.contributor.authorMAULANA MALIK
dc.date.accessioned2013-12-05T02:33:24Z
dc.date.available2013-12-05T02:33:24Z
dc.date.issued2013-12-05
dc.identifier.nimNIM080710101202
dc.identifier.urihttp://repository.unej.ac.id/handle/123456789/4436
dc.description.abstractMajelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) merupakan Lembaga Negara Tertinggi sebelum amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebagaimana diketahui dalam pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebelum perubahan bahwa, “Kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”. MPR sebagai pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat mempunyai mempunyai kekuasaan yang tertinggi, dimana kekuasaan itu berpuncak pada MPR. Dengan demikian MPR mendelegasikan kekuasaannya kepada lembaga-lembaga negara lain dibawahnya. Setelah amandemen terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, MPR mengalami pergeseran kedudukan dari Lembaga Tertinggi Negara menjadi Lembaga Tinggi Negara, serta tidak lagi melaksanakan sepenuhnya kedaulatan rakyat. Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (setelah amandemen) menyatakan, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya menurut Undang-Undang Dasar”. MPR setelah perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mempunyai kedudukan yang sederajat dengan Lembaga Tinggi Negara lainnya. MPR yang pada awalnya membagi-bagikan kedaulatan atau kekuasaannya secara vertikal-strukural, sekarang kedaulatan atau kekuasaan itu ada pada Lembaga Tinggi Negara secara horizontal-fungsional berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan pergeseran kedudukan MPR pasca amandemen, membawa konsekuensi pula terhadap kewenangan yang dimiliki. Kewenangan MPR dalam memilih Presiden dan menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara sebagai acuan kerja pemerintah sudah tidak ada lagi, karena Presiden dan Wakil Presiden sekarang dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat (pasal 6A ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (setelah amandemen), sehingga tidak ada lagi pertanggungjawaban Presiden kepada MPR karena Presiden langsung bertanggungjawab kepada pemilihnya yaitu rakyat. Oleh karena itu pergeseran xiii kedudukan MPR dari Lembaga Tertinggi Negara menjadi Lembaga Tinggi Negara yang sederajat dengan lembaga negara yang lain, membuat kewenangan yang dimiliki juga ikut berkurang. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis memandang perlu untuk mencari solusi atas permasalahan yang tengah terjadi dengan mengangkat sebuah karya tulis ilmiah berbentuk skripsi yang berjudul: “Pergeseran Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Pasca Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia”. Rumusan masalah dalam skripsi ini yaitu: Apa akibat hukum pergeseran kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dari Lembaga Tertinggi Negara menjadi Lembaga Tinggi Negara pasca amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta apakah alasan tetap dipertahankannya Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pasca amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Adapun penulisan skripsi ini bertujuan untuk mengetahui akibat pergeseran kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dari Lembaga Tertinggi Negara menjadi Lembaga Tinggi Negara pasca amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta untuk mengetahui apa alasan tetap dipertahankannya Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pasca amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sedangkan metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode yuridis normatif (legal research) dengan pendekatan masalah melalui pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan komparatif (comparative approach) dengan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, serta bahan non hukum kemudian dilanjutkan dengan analisa bahan hukum. Kesimpulan yang dapat diperoleh dari penulisan skripsi ini adalah: Pertama, sebelum perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 MPR berkedudukan sebagai Lembaga Tertinggi Negara. Dalam kedudukannya sebagai Lembaga Tertinggi Negara membawa konsekuensi atau akibat bahwa kekuasaan dalam negara terbagi secara vertikal yang berpuncak xiv pada MPR. Sebagai Lembaga Tertinggi Negara, hubungan MPR dengan lembaga negara lainnya berupa: (1) MPR mengatur dan menetapkan kekuasaan lembagalembaga tinggi negara lainnya (Presiden, DPR, MA, BPK, dan DPA) melalui penetapan dan perubahan UUD; (2) MPR membuat pedoman lebih rinci untuk menjadi acuan bagi Lembaga Tinggi Negara dalam menjalankan kekuasaannya, dalam bentuk Ketetapan MPR; (3) MPR mengawasi pelaksanaan kekuasaan Lembaga Tinggi Negara, apakah sudah sejalan dengan UUD dan Tap MPR, konsekuensinya adalah Lembaga Tinggi Negara wajib menyampaikan laporan pelaksanaan tugasnya kepada MPR. Setelah perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Kedudukan MPR tidak lagi sebagai Lembaga Tertinggi Negara melainkan sebagai Lembaga Tinggi Negara yang sederajat dengan lembaga negara lainnya. Sehingga akibat hukum pergeseran MPR dari Lembaga Tertinggi Negara menjadi Lembaga Tinggi Negara menurut Bagir Manan adalah: (1) MPR tidak lagi ditafsirkan sebagai satu-satunya pelaksana kedaulatan rakyat; (2) MPR tidak lagi ditafsirkan mempunyai kekuasaan tak terbatas; (3) MPR tidak lagi disebut sebagai Lembaga Tertinggi Negara yang membawahi lembaga negara lainnya; (4) MPR tidak lagi menetapkan garis-garis besar haluan negara lima tahunan; (5) MPR tidak lagi sebagai tempat Presiden mempertangungjawabkan jalannya pemerintahan. Presiden tidak lagi ditafsirkan sebagai mandataris MPR yang bertanggungjawab kepada MPR. Presiden tidak lagi “untergeordnet” terhadap MPR, Presiden “neben” terhadap MPR; (6) MPR tidak lagi memilih Presiden dan Wakil Presiden; (7) Susunan keanggotaan MPR tidak lagi terdiri atas anggota DPR, utusan daerah dan utusan golongan, melainkan terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD. Selain itu, MPR tidak dapat lagi mengeluarkan ketetapan-ketetapan yang bersifat mengatur (regeling). Kedua, MPR setelah perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengalami perubahan kewenangan, baik karena sifat kewenangannya yang tidak tetap, serta insidentil, bahkan menurut Deny Indrayana MPR telah mengurangi sendiri kekuasaannya melalui perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Meskipun demikian, MPR tetap ada sebagai lembaga yang diatur secara eksplisit dalam xv konstitusi pasca amandemen, karena alasan yang pertama “keunikan” lembaga tersebut, bahkan menurut Jimly Asshiddiqie lembaga seperti ini tidak ada di negara manapun di dunia, yang kedua karena lembaga MPR merupakan perwujudan kata “Permusyawaratan” dalam sila keempat Pancasila. Saran-saran yang dapat diberikan adalah Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang kelima diperlukan untuk mempertegas kewenangan MPR sebagai salah satu lembaga negara yang diatur secara eksplisit di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, mengingat kewenangan MPR yang sekarang bersifat tidak tetap serta insidentil. MPR harus menunjukkan bahwa lembaga tersebut merupakan lembaga yang benar-benar mencerminkan perwujudan dari kata “Permusyawaratan” dalam sila keempat Pancasila yang mengutamakan prinsip musyawarah mufakat demi mencapai tujuan bersama. xvi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) merupakan Lembaga Negara Tertinggi sebelum amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebagaimana diketahui dalam pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebelum perubahan bahwa, “Kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”. MPR sebagai pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat mempunyai mempunyai kekuasaan yang tertinggi, dimana kekuasaan itu berpuncak pada MPR. Dengan demikian MPR mendelegasikan kekuasaannya kepada lembaga-lembaga negara lain dibawahnya. Setelah amandemen terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, MPR mengalami pergeseran kedudukan dari Lembaga Tertinggi Negara menjadi Lembaga Tinggi Negara, serta tidak lagi melaksanakan sepenuhnya kedaulatan rakyat. Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (setelah amandemen) menyatakan, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya menurut Undang-Undang Dasar”. MPR setelah perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mempunyai kedudukan yang sederajat dengan Lembaga Tinggi Negara lainnya. MPR yang pada awalnya membagi-bagikan kedaulatan atau kekuasaannya secara vertikal-strukural, sekarang kedaulatan atau kekuasaan itu ada pada Lembaga Tinggi Negara secara horizontal-fungsional berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan pergeseran kedudukan MPR pasca amandemen, membawa konsekuensi pula terhadap kewenangan yang dimiliki. Kewenangan MPR dalam memilih Presiden dan menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara sebagai acuan kerja pemerintah sudah tidak ada lagi, karena Presiden dan Wakil Presiden sekarang dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat (pasal 6A ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (setelah amandemen), sehingga tidak ada lagi pertanggungjawaban Presiden kepada MPR karena Presiden langsung bertanggungjawab kepada pemilihnya yaitu rakyat. Oleh karena itu pergeseran xiii kedudukan MPR dari Lembaga Tertinggi Negara menjadi Lembaga Tinggi Negara yang sederajat dengan lembaga negara yang lain, membuat kewenangan yang dimiliki juga ikut berkurang. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis memandang perlu untuk mencari solusi atas permasalahan yang tengah terjadi dengan mengangkat sebuah karya tulis ilmiah berbentuk skripsi yang berjudul: “Pergeseran Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Pasca Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia”. Rumusan masalah dalam skripsi ini yaitu: Apa akibat hukum pergeseran kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dari Lembaga Tertinggi Negara menjadi Lembaga Tinggi Negara pasca amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta apakah alasan tetap dipertahankannya Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pasca amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Adapun penulisan skripsi ini bertujuan untuk mengetahui akibat pergeseran kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dari Lembaga Tertinggi Negara menjadi Lembaga Tinggi Negara pasca amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta untuk mengetahui apa alasan tetap dipertahankannya Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pasca amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sedangkan metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode yuridis normatif (legal research) dengan pendekatan masalah melalui pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan komparatif (comparative approach) dengan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, serta bahan non hukum kemudian dilanjutkan dengan analisa bahan hukum. Kesimpulan yang dapat diperoleh dari penulisan skripsi ini adalah: Pertama, sebelum perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 MPR berkedudukan sebagai Lembaga Tertinggi Negara. Dalam kedudukannya sebagai Lembaga Tertinggi Negara membawa konsekuensi atau akibat bahwa kekuasaan dalam negara terbagi secara vertikal yang berpuncak xiv pada MPR. Sebagai Lembaga Tertinggi Negara, hubungan MPR dengan lembaga negara lainnya berupa: (1) MPR mengatur dan menetapkan kekuasaan lembagalembaga tinggi negara lainnya (Presiden, DPR, MA, BPK, dan DPA) melalui penetapan dan perubahan UUD; (2) MPR membuat pedoman lebih rinci untuk menjadi acuan bagi Lembaga Tinggi Negara dalam menjalankan kekuasaannya, dalam bentuk Ketetapan MPR; (3) MPR mengawasi pelaksanaan kekuasaan Lembaga Tinggi Negara, apakah sudah sejalan dengan UUD dan Tap MPR, konsekuensinya adalah Lembaga Tinggi Negara wajib menyampaikan laporan pelaksanaan tugasnya kepada MPR. Setelah perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Kedudukan MPR tidak lagi sebagai Lembaga Tertinggi Negara melainkan sebagai Lembaga Tinggi Negara yang sederajat dengan lembaga negara lainnya. Sehingga akibat hukum pergeseran MPR dari Lembaga Tertinggi Negara menjadi Lembaga Tinggi Negara menurut Bagir Manan adalah: (1) MPR tidak lagi ditafsirkan sebagai satu-satunya pelaksana kedaulatan rakyat; (2) MPR tidak lagi ditafsirkan mempunyai kekuasaan tak terbatas; (3) MPR tidak lagi disebut sebagai Lembaga Tertinggi Negara yang membawahi lembaga negara lainnya; (4) MPR tidak lagi menetapkan garis-garis besar haluan negara lima tahunan; (5) MPR tidak lagi sebagai tempat Presiden mempertangungjawabkan jalannya pemerintahan. Presiden tidak lagi ditafsirkan sebagai mandataris MPR yang bertanggungjawab kepada MPR. Presiden tidak lagi “untergeordnet” terhadap MPR, Presiden “neben” terhadap MPR; (6) MPR tidak lagi memilih Presiden dan Wakil Presiden; (7) Susunan keanggotaan MPR tidak lagi terdiri atas anggota DPR, utusan daerah dan utusan golongan, melainkan terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD. Selain itu, MPR tidak dapat lagi mengeluarkan ketetapan-ketetapan yang bersifat mengatur (regeling). Kedua, MPR setelah perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengalami perubahan kewenangan, baik karena sifat kewenangannya yang tidak tetap, serta insidentil, bahkan menurut Deny Indrayana MPR telah mengurangi sendiri kekuasaannya melalui perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Meskipun demikian, MPR tetap ada sebagai lembaga yang diatur secara eksplisit dalam xv konstitusi pasca amandemen, karena alasan yang pertama “keunikan” lembaga tersebut, bahkan menurut Jimly Asshiddiqie lembaga seperti ini tidak ada di negara manapun di dunia, yang kedua karena lembaga MPR merupakan perwujudan kata “Permusyawaratan” dalam sila keempat Pancasila. Saran-saran yang dapat diberikan adalah Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang kelima diperlukan untuk mempertegas kewenangan MPR sebagai salah satu lembaga negara yang diatur secara eksplisit di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, mengingat kewenangan MPR yang sekarang bersifat tidak tetap serta insidentil. MPR harus menunjukkan bahwa lembaga tersebut merupakan lembaga yang benar-benar mencerminkan perwujudan dari kata “Permusyawaratan” dalam sila keempat Pancasila yang mengutamakan prinsip musyawarah mufakat demi mencapai tujuan bersama. xvien_US
dc.relation.ispartofseries080710101202;
dc.subjectKEDUDUKAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT PASCA AMANDEMENen_US
dc.titlePERGESERAN KEDUDUKAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT PASCA AMANDEMEN UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIAen_US
dc.typeOtheren_US


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record