dc.description.abstract | Pajak merupakan salah satu sumber pendapatan terbesar bagi negara
Indonesia. Mengingat begitu esensialnya peranan pajak dalam upaya
pembangunan negara, maka pemerintah pun berusaha untuk memaksimalkan
pendapatan negara dari sektor ini. Namun, hal tersebut tidak mudah dilakukan
karena tidak dapat dipungkiri bahwa tingkat kesadaran masyarakat terhadap
kewajibannya membayar pajak tergolong masih rendah, sehingga masih sering
terjadi sengketa-sengketa perpajakan. Salah satu upaya pemerintah untuk
meningkatkan kesadaran masyarakat dan mengatasi sengketa tersebut, pemerintah
membentuk suatu badan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Pada
awalnya dibentuklah Majelis Permusyawaratan Pajak, kemudian diganti dengan
Badan Penyelesaian Sengketa Pajak, hingga pada tanggal 12 April 2002
dibentuklah Pengadilan Pajak dengan berdasarkan Undang-Undang Nomor 14
Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Keberadaan badan-badan tersebut
mengalami pasang surut dalam perkembangannya. Hingga yang terakhir –
Pengadilan Pajak- juga dapat dikatakan menimbulkan kontroversi tentang
kedudukannya dalam sistem kekuasaan kehakiman, serta mengenai pengawasan
dan pembinaan di dalam Pengadilan Pajak itu sendiri.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis memandang perlu untuk
mencoba mencari solusi atas permasalahan yang tengah terjadi dengan
mengangkat sebuah karya tulis ilmiah berbentuk skripsi yang berjudul:
“Independensi Pengadilan Pajak terhadap Pengawasan oleh Pengadilan
Pajak berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang
Pengadilan Pajak.”
Rumusan masalah dalam skripsi ini yaitu: Bagaimana kedudukan
pengadilan pajak dalam sistem kekuasaan kehakiman Indonesia berdasarkan
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, dan apakah
pengawasan yang dilakukan oleh Kementerian Keuangan sebagai lembaga
eksekutif dapat mempengaruhi independensi pengadilan pajak sebagai lembaga
yudikatif. Adapun penulisan skripsi ini bertujuan untuk mengetahui kedudukan
xiv
pengadilan pajak dalam sistem ketatanegaraan Indonesia dalam perspektif
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, serta untuk
mengetahui independensi pengadilan pajak terhadap pengawasan yang dilakukan
oleh Kementerian Keuangan sebagai lembaga eksekutif. Sedangkan metode yang
digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode yuridis normatif (legal
research) dengan pendekatan masalah melalui pendekatan perundang-undangan
(statute approach) dan pendekatan historis (historical approach) dengan bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan non hukum kemudian
dilanjutkan dengan analisa bahan hukum.
Kesimpulan yang dapat diperoleh dari penulisan skripsi ini adalah:
Pertama, kedudukan Pengadilan Pajak dalam sistem kekuasaan kehakiman
Indonesia tidak diatur secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002
tentang Pengadilan Pajak. Bahkan yang terjadi adalah banyaknya pertentangan
norma yang terkait dengan Pengadilan Pajak, yaitu antara Undang-Undang
Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6
Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, dan UndangUndang
Nomor
14 Tahun
2002
tentang
Pengadilan
Pajak
itu
sendiri.
Ketidakjelasan
kedudukan
tersebut
juga
berdampak
pada
pengawasan
yang
dapat
dilakukan
oleh
Mahkamah
Agung,
dimana
tidak
adanya
upaya
hukum
kasasi,
melainkan
hanya
upaya
hukum
luar
biasa,
yaitu
peninjauan
kembali
oleh
Mahkamah
Agung.
Kedua,
Undang-Undang
Nomor
14 Tahun
2002 tentang
Pengadilan
Pajak
(Pasal
5 ayat
(2)
Undang-Undang
Nomor
14 Tahun
2002)
inkonsistensi
dengan
Undang-Undang
Nomor
35 Tahun
1999
–sekarang
diubah
dengan
Undang-Undang
Nomor
48 Tahun
2009 tentang
Kekuasaan
Kehakiman-
yang
merupakan
dasar
hukum
dari
Undang-Undang
Pengadilan
Pajak
tersebut,
yaitu
menjadikan
Kementerian
Keuangan
(eksekutif)
ikut
campur
dalam
urusan
Pengadilan
Pajak.
Pengadilan
Pajak
yang
berfungsi
melakukan
yudisial
kontrol
terhadap keputusan dalam bentuk ketetapan (beschiking) yang diterbitkan oleh
penyelenggara negara (Kementerian Keuangan c.q Direktorat Jenderal Pajak),
xv
dikhawatirkan (kecurigaan ilmiah) akan menjadi kendala tersendiri dalam hal
kemandirian, kebebasan dan kemerdekaan hakim yang tidak berpihak dalam
memeriksa dan memutus sengketa hukum di bidang perpajakan, karena hakim
akan mengontrol terhadap tindakan administrasi negara (kementerian Keuangan
c.q. Direktorat Jenderal Pajak) yang nota bene adalah pembinanya sendiri (Pasal 5
ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak).
Bahkan independensi Pengadilan Pajak tersebut menjadi salah satu argumen
pemohon judicial review kepada Mahkamah Konstitusi. Meskipun permohonan
tersebut ditolak, namun hal ini membuktian adanya muatan-muatan yang perlu
diperhatikan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002, khususnya mengenai
independensi dan kemerdekaan hakim dalam menyelesaikan perkara.
Saran yang dapat diberikan adalah perlunya dilakukan perubahan atau
revisi terhadap Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak
terkait dengan penegasan kedudukan Pengadilan Pajak dalam sistem kekuasaan
kehakiman sehingga benar-benar terbentuk sistem kesatuan peradilan (unity court
system) dan independensi Pengadilan Pajak terhadap intervensi eksekutif. Selain
itu, perubahan tersebut dilakukan untuk semakin menjamin hak-hak warga negara
yang telah dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. | en_US |