dc.description.abstract | Presiden merupakan kepala negara sekaligus kepala pemerintahan di negara
Indonesia. Mengingat begitu pentingnya peranan Presiden yang dibantu oleh satu
orang wakil, maka untuk memaksimalkan kinerja dan tanggung jawab atas
kewenangan dan kewajibannya tercipta adanya impeachment atau pemakzulan
(pemberhentian). Impeachment atau pemakzulan disini diartikan sebagai panggilan
atau dakwaan untuk meminta pertanggung jawaban atas dugaan pelanggaran hukum
yang dilakukan dalam masa jabatan presiden dan wakil presiden yang dapat berakhir
dengan pemberhentian jabatan. Impeachment atau pemakzulan disini sebagai kontrol
agar jalannya pemerintahan dan kenegaraan dapat berjalan lancar.
Mengenai impeachment atau pemakzulan atau pemberhentian presiden dan
wakil presiden ini diatur dalam Pasal 7A dan 7B UUD Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Berdasarkan aturan tersebut Mekanisme pemberhentian presiden dan
wakil presiden ini terbagi menjadi 3 (tiga) tahap, yaitu pertama pengajuan duagaan
oleh DPR, kedua Putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan “Terbukti Benar”
atas dugaan oleh DPR, yang terakhir ketiga Putusan MPR dalam Sidang Istimewa.
Pemberhentian presiden dan wakil presiden pada periode sekarang ini memang
berbeda dengan sebelum amandemen UUD. Sekarang terdapat peranan Mahkamah
Konstitusi dalam pemberhentian Presiden dan Wakil Presiden karena sebagai wujud
prinsip negara Indonesia yaitu negara hukum. Maka dalam pemberhentian presiden
dan wakil presiden terdapat peranan mahkamah konstitusi selaku pelaku kekuasaan
kehakiman.
Keberadaan mahkamah konstitusi ini menimbulkan dilema yang
memunculkan pertanyaan mengenai putusan yang dikeluarkannya tersebut apakah
berakibat diberhentikannya presiden dan wakil presiden? Mengingat keberadaan
mahkamah konstitusi yang sebagai perwujudan negara hukum dan sifat putusannya
“final and bainding”. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis memandang
perlu untuk mencoba untuk mencari tahu atas permasalahan tersebut sehingga dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul tersebut dengan mengangkat sebuah
karya tulis ilmiah berbentuk skripsi yang berjudul : “KAJIAN YURIDIS
TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG DUGAAN
PELANGGARAN HUKUM PRESIDEN DAN/ATAU WAKIL PRESIDEN
OLEH DEWAN PERWAKILAN RAKYAT TERKAIT DENGAN
KEWENANGAN MAJELIS PERMUSYAWARTAN RAKYAT DALAM
MEMBERHENTIKAN PRESIDEN DAN/ATAU WAKIL PRESIDEN”.
Rumusan masalah dalam skripsi ini yaitu : Apakah faktor- faktor
konstitusional penyebab impeachment terhadap presiden dan/atau wakil presiden, dan
Bagaimanakah keabsahan putusan Mahkamah Konstitusi sebagai dasar Majelis
Permusyawaratan Rakyat melakukan impeachment terhadap Presiden dan Wakil
Presiden. Adapun penulisan skripsi ini bertujuan untuk mengetahui faktor- faktor
konstitusional penyebab impeachment terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden,
dan Untuk mengetahui keabsahan putusan Mahkamah Konstitusi sebagai dasar
Majelis permusyawaratan Rakyat melakukan impeachment terhadap Presiden
dan/atau Wakil Presiden. Sedangkan metode yang digunakan dalam penulisan skripsi
ini adalah metode yuridis normatif (legal research) dengan pendekatan undang-
undang (statute approach) dan pendekatan konsep (conseptual approach) dengan
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dengan dilanjutkan analisa bahan
hukum.
Kesimpulan yang dapat diperoleh dari penulisan skripsi ini adalah :
1. Faktor-faktor konstitusional Penyebab Impeachment Presiden dan/atau
Wakil Presiden harus memenuhi aturan dalam Pasal 7A dan Pasal 7B
UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Adapun rinciannya sebagai
berikut : 1) Telah ditentukannya oleh DPR alasan-alasan (yang tertuang dalam
Pasal 7A UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945) Presiden
dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dengan dukungan
sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir
dalam sidang paripurna yang dihadiri sekurang-kuarangnya 2/3
dari jumlah anggota DPR.
2) Telah dibuktikan bahwa adanya alasan untuk memberhentikan
Presiden dan/atau Wakil Presiden benar adanya dengan
mengajukan pendapat DPR tersebut ke Mahkamah Konstitusi.
3) Telah terdapat Keputusan oleh Mahkamah Konstitusi yang
menyatakan bahwa Pendapat DPR atas dugaan pelanggaran hukum
oleh Presiden dan/atau Wakil presiden “terbukti benar” (Pasal 7B
ayat (5) dan Pasal 83 UU Tentang Mahkamah Konstitusi
sebagaimana yang telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undnag-Undang Nomor 24
Tahun 2003 Tentang Mahakamah Konstitusi). Yang keputusan
tersebut diputus berdasarkan PMK Nomor 21 Tahun 2009 tentang
Pedoman Beracara Dalam Memutus Pendapat Dewan Perwakilan
Rakyat Mengenai Dugaan Pelanggaran Oleh Presiden dan/atau
Presiden dan/atau Wakil Presiden.
4) DPR menyelenggarakan Sidang Paripurna guna meneruskan usul
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden ke MPR dengan
melampirkan Keputusan Mahkamah Konstitusi yang
membenarkan pendapat DPR tersebut.
5) Setelah diterimanya usul dari DPR beserta Keputusan Mahkamah
Konstitusi, MPR wajib menyelenggarakan Sidang Paripurna guna
memutus usul DPR tersebut dengan terlebih dahulu mendengarkan
penjelasan Presiden dan/atau Wakil Presiden terkait dugaan
pelanggaran yang dilakukan. 6) Dalam Rapat Paripurna MPR untuk mengambil keputusan harus
dihadiri oleh ¾ dari jumlah anggota MPR dan disetujui sekurang-
kurangnya 2/3 dari jummlah yang hadir.
2. Putusan mahkamah konstitusi merupakan keputusan yang berkekuatan
hukum tetap dan sah serta tetap diperlukan dalam sidang istimewa MPR
sebagai bahan pertimbangan hukum dalam mengambil keputusan untuk
memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden. Keputusan mahkamah
konstitusi itu berkekuatan hukum tetapi tidak mengikat DPR dan MPR
karena sifatnya yang hanya sebagai pertimbangan hukum. Kewenangan
untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil presiden dipegang oleh
MPR. Hal ini telah diatur jelas dalam Pasal 3 UUD Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Saran yang dapat diberikan adalah Pertama, perlu adanya suatu perubahan
dalam aturan mengenai Impeachment khususnya yang mengarah lebih kearah politik
yaitu lebih berperannya MPR selaku lembaga politik dalam pemberhentian Presiden
dan/atau Wakil Presiden. Karena dikhawatirkan keeksistensian Negara hukum
terabaikan. Yang diwujudkan dengan lebih menguatkan peran Mahkamah Konstitusi
selaku lembaga yudikatif dalam hal impeachment. Seperti halnya di Negara Jerman,
menurut konstitusi jerman, yang diatur dalam BAB V mengenai Presiden khususnya
Pasal 61 ayat 2 yang isinya sebagai berikut:
“Where the Federal Constitutional Court finds the President guilty of a wilful
violation of this Constitution or of another federal statute, it may declare him
to have forfeited his office. After impeachment, it may issue an interim order
preventing the President from exercising his functions. ”
Aturan diatas bermaksud sebagai berikut, Apabila Mahkamah Konstitusi
Federal menemukan Presiden bersalah atas pelanggaran yang disengaja dari
Konstitusi ini atau lain undang- undang federal, maka mahkamah konstitusi dapat
menyatakan presiden diberhentikan dari jabatannya. Setelah impeachment, mahkamah konstitusi dapat mengeluarkan perintah peradilan intern untuk mencegah
Presiden dari melaksanakan fungsi kepresidenannya.
Kedua, Secara umum, perlu adanya pergantian atau merevisi aturan mengenai
impeachment agar dapat mengakomodir hal krusial mengenai impeachment ini.
Khususnya mengenai komponen-komponen hukum agar prinsip negara hukum
Indonesia terpenuhi. | en_US |