dc.description.abstract | Cabai merah segar termasuk dalam golongan enam besar dari komoditas
sayuran yang diekspor Indonesia akhir-akhir ini, selain bawang merah, tomat,
kentang, kubis, dan kol bunga (termasuk didalamnya brocoli) (Prajnanta, 2001).
Cabai merah merupakan tanaman perdu dari famili terung-terungan (Solanaceae).
Keluarga ini diduga memiliki sekitar 90 genus dan sekitar 2000 spesies yang
terdiri dari tumbuhan herba, semak dan tumbuhan kecil lainnya (Setiadi, 1999).
Cabai merah dapat ditanam di dataran rendah ataupun di dataran tinggi,
tergantung dari varietasnya. Tanah yang cocok untuk tanaman cabai merah
adalah tanah yang gembur dan subur. Tanaman cabai merah akan mudah sekali
terserang hama dan penyebab penyakit jika tempat penanamannya kurang cocok.
Salah satu penyakit yang sangat merugikan adalah penyakit antraknosa yang
disebabkan oleh jamur Colletotrichum capsici (Pracaya, 1994). Menurut
Semangun (2000) antraknosa pada cabai besar tersebar luas di semua daerah
penanaman cabai di seluruh dunia.
Penyakit antraknosa sangat ditakuti karena dapat menghancurkan seluruh
pertanaman. Pengamatan harus dilakukan setiap hari pada musim hujan. Cabai
segar yang disimpan 1-2 hari sebelum dipasarkanpun dapat memperlihatkan gejala
serangan penyebab penyakit ini karena antraknosa dapat terbawa, tumbuh, dan
bertahan di dalam biji selama 9 bulan. Penyakit ini berkembang pesat sekali pada
kondisi kelembaban relatif tinggi (>95%) pada suhu sekitar 32°C dan lingkungan
pertanaman yang kurang bersih serta banyak terdapat genangan air (Prajnanta,
2001).
Penyakit antraknosa dapat menyebabkan kerusakan sejak dari persemaian
sampai tanaman cabai berbuah, dan merupakan masalah utama pada buah masak,
serta berakibat serius terhadap penurunan hasil dan penyebaran penyakit
(Syamsudin, 2003). Berdasarkan laporan (Balai Penelitian Hortikultura Lembang
1993 dalam Syamsudin 2003), kehilangan hasil pada pertanaman cabai akibat
serangan antraknosa dapat mencapai 50-100% pada saat musim hujan.
Pengendalian penyakit pada umumnya masih menggunakan fungisida,
karena masih dianggap dapat mengendalikan penyakit secara cepat dan praktis,
meskipun kesadaran dari pengguna akan dampak negatif dari zat kimia cukup
tinggi disamping biaya yang dikeluarkan dalam penggunaan fungisida yang sangat
mahal. Menurut Syamsudin (2003) upaya pengendalian penyakit antraknosa
hingga saat ini masih menggunakan pestisida sintetik sebagai pilihan utama
karena dianggap dapat mengendalikan penyakit secara cepat dan praktis. Namun
demikian mengingat dampak negatif terhadap lingkungan yang diakibatkan oleh
pemakaian pestisida sintetik, maka saat ini telah dikembangkan perlindungan
secara biologi karena dianggap sebagai teknik yang memperhatikan dan menjaga
keseimbangan lingkungan. Pengendalian hayati penyakit tanaman didefinisikan
sebagai penekanan jumlah inokulum atau aktivitas patogen dengan menggunakan
satu atau lebih mikroorganisme (Cook dan Barker, 1983). Salah satu mikrobia
antagonis yang dapat digunakan untuk mengendalikan penyakit antraknosa adalah
Bacillus subtilis (Susanti, 2004).
Menurut Damordjati (1993) B. subtilis merupakan mikrobia yang memiliki
sifat antagonis dan memiliki kisaran aktivitas yang sangat luas. Keunggulan B.
subtilis dibanding dengan bakteri lain adalah kemampuannya menghasilkan
endospora yang tahan terhadap panas atau dingin, juga terhadap pH yang ekstrim,
pestisida, pupuk dan waktu penyimpanan. B. subtilis merupakan salah satu genus
yang sangat penting untuk pengendalian hayati pada permukaan daun disamping
untuk penyakit pada perakaran maupun penyakit pasca panen. Bakteri ini sangat
berpotensi karena mudah diformulasikan dan relatif dapat mengkolonisasi
berbagai spesies tanaman (Bacman, et al.,1997).
Keberadaan nutrisi dilapangan terutama pada permukaan buah tidak
sebanyak dalam tanah yang merupakan habitat dari B. Subtilis yang dapat
mendukung aktivitas B. subtilis. Apabila antagonis sudah cocok pada habitatnya
tetapi belum berfungsi untuk mengendalikan patogen maka perlu perlakuan yang
dapat meningkatakan kemampuan anatagonisnya (Cook dan Barker, 1983). Untuk
meningkatkan aktivitas antibiotik B. subtilis dalam mengendalikan patogen diatas
permukaan buah diperlukan suatu nutrisi. Pada keadaan yang demikian maka
perlu dilakukan penelitian mengenai pengaruh penambahan nutrisi berupa tepung
terhadap efektifitas B. subtilis dalam mengendalikan penyakit antraknosa pada
cabai merah yang disebabkan oleh jamur C. capsici. | en_US |