Show simple item record

dc.contributor.authorTRI RAHAYU PUSPITOWATI
dc.date.accessioned2014-01-28T02:04:58Z
dc.date.available2014-01-28T02:04:58Z
dc.date.issued2014-01-28
dc.identifier.nimNIM040710101242
dc.identifier.urihttp://repository.unej.ac.id/handle/123456789/25991
dc.description.abstractRINGKASAN Tujuan perkawinan menurut pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Walaupun demikian adakalanya terjadi masalah-masalah yang dapat menyebabkan perkawinan tidak dapat diteruskan sehingga perkawinan tersebut terpaksa diputuskan dengan perceraian. Percerain dalam istilah ilmu fiqh disebut talak atau firqah. Talak berarti membuka ikatan atau membatalkan perjanjian. Perceraian membawa akibat hukum terputusnya perkawinan, apabila dalam perkawinan telah di lahirkan anak maka perceraian juga membawa akibat hukum terhadap si anak, yaitu orang tua tidak dapat memelihara anak secara bersama-sama untuk itu pemeliharaan anak diserahkan kepada salah satu orang tuanya. Ketentuan hukum Perundang-undangan telah memberikan hak pemeliharaan anak yang belum mumayyiz kepada ibunya, akan tetapi dalam hal anak yang belum mumayyiz itu bisa memilih untuk ikut ayahnya atau ibunya, maka anak diberikan kesempatan untuk memilih sendiri. Namun sehubungan dengan pemeliharaan anak sering timbul masalah baru seperti ketika ibu sebagai pemegang hak asuh atas anak dibawah umur pindah agama (murtad). Maka ketentuan pembagian hak asuh anak seperti yang telah datur dalam pasal 105 dan 156 Kompilasi Hukum Islam harus kembali didiskusikan, seperti yang terjadi pada kasus sengketa hak asuh anak Perkara Mahkamah Agung RI No 210K/AG/1996. Berdasarkan paparan di atas, dengan ini penulis tertarik untuk menuangkan permasalahan tersebut dalam sebuah karya tulis ilmiah skripsi yang berjudul “PENYELESAIAN SENGKETA HAK ASUH ANAK (HADLONAH) DIBAWAH UMUR KARENA SALAH SATU ORANG TUANYA PINDAH AGAMA SEBAGAI AKIBAT PERCERAIAN (Kajian Putusan MA RI No.210.K/AG/1996)”. Adapun permasalahan yang penulis angkat meliputi 2 (dua) hal adalah pertama, Apakah Pindah Agama dapat Dipergunakan sebagai Alasan penolakan Memperoleh hak asuh (hadlonah) anak di bawah umur akibat perceraian. Kedua, apa yang menjadi pertimbangan hukum hakim Pengadilan Agama Bandung, Pengadilan Tinggi Bandung, Mahkamah Agung dalam perkara No.210.K/AG/1996. Tujuan penulisan karya tulis ilmiah berbentuk skripsi ini terdiri dari tujuan umum dan tujuan khusus adalah untuk mengetahui maksud dari permasalahan yang dibahas. Sedangkan metode penelitian yang digunakan terdiri dari tipe penelitian yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan, pendekatan Perundang-undangan dan pendekatan kasus. Sumber bahan hukum yaitu terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, sedangkan dalam menganalisis bahan hukum adalah dengan menggunakan metode deduktif. Hasil penelitian menyimpulkan akibat hukum dari pindah agama yang dilakukan ibu setelah terjadinya perceraian dalam perkara No.210.K/AG/1996 berkaitan dengan hak asuh (hadlonah), apabila terjadi sengketa hak asuh (hadlonah) atas anak tersebut, maka yang paling berhak mendapatkan hak asuh (hadlonah) atas anak tersebut adalah pihak ayah, dengan pertimbangan bahwa ayah anak tersebut beragama Islam. Jika setelah perceraian seorang ibu pindah agama (murtad) maka menjadi gugurlah haknya untuk melakukan pengasuhan/pemeliharaan (hadlonah) terhadap anaknya yang masih di bawah umur/belum mumayyiz( belum berusia 12 dua belas) tahun. Pertimbangan aqidah/ agama sebagai kelayakan untuk mengasuh anak merupakan pertimbangan dari sudut syar’i yang mengedepankan salah satu maqhosidusy Syar’iyyah (tujuan syari’at Islam) yaitu menjaga keutuhan agama Islam dengan ditopang oleh beberapa hadits Rasulullah. Latar belakang pemikiran maqoshidusy syar’i (tujuan disyari’atkannya agama Islam) dalam Putusan Mahkamah Agung dijelaskan oleh Achmad Djunaeni bahwa masalah aqidah merupakan syarat untuk menentukan gugur tidaknya hak seorang ibu atas pemeliharaan dan pengasuhan terhadap anaknya yang masih belum mumayyiz. Atau dalam bahasa Syamsuhadi Irsyad Mahkamah Agung menempatkan aqidah sebagai ukuran penentu kelangsungan atas keberlakuan hak hadlonah tersebut atau menjadi gugur karenanya. Ulama Madzab syafi’i dan Hambali mensyaratkan bahwa pengasuh haruslah seorang muslim dan muslimah, karena orang non muslim tidak punya kewenangan mengasuh dan memimpin orang islam, di samping itu juga dikhawatirkan pengasuh akan menyeret anak tersebut masuk kedalam agamanya. Sesuai dengan ayat Al-Quran Al-Imron terjemahannya: “ Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir jadi wali (pemimpin), bukan orang mukmin, barang siapa berbuat demikian, bukanlah ia dari (agama) allah sedikitpun, kecuali jika kamu takut kepada mereka sebenar-benarnya takut; dan Allah mempertakuti kamu dengan dirinya dan kepada Allah tempat kembali”. Sejalan dengan kesimpulan di atas sepatutnyalah diharapkan bagi pasangan yang telah menikah untuk dengan sungguh-sungguh menjaga mahligai perkawinan dan senantiasa menjaga keharmonisan hubungan keluarga sehingga terhindar dari masalah-masalah yang menimbulkan perceraian. Karena meskipun Allah SWT menghalalkan perceraian, akan tetapi perceraian adalah perbuatan yang dimurkai olehNya. Apabila perceraian tidak dapat dihindarkan lagi hendaknya kedua belah pihak (suami dan Istri) tetap menjaga keimanannya/ tidak pindah agama. Pindah agama dapat berdampak terhadap perolehan hak asuh yang ditetapkan oleh pengadilan. Kompilasi Hukum Islam menetapkan pengasuhan atas anak dibawah umur ada pada salah satu orang tuanya yang beragama Islam dengan tujuan menyelamatkan kelestarian agama anak tersebut.en_US
dc.language.isootheren_US
dc.relation.ispartofseries040710101242;
dc.subjectHAK ASUH ANAK (HADLONAH)en_US
dc.titlePENYELESAIAN SENGKETA HAK ASUH ANAK (HADLONAH) DIBAWAH UMUR KARENA SALAH SATU ORANG TUANYA PINDAH AGAMA SEBAGAI AKIBAT PERCERAIANen_US
dc.typeOtheren_US


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record