dc.description.abstract | Proses pembuktian dalam perkara korupsi bukan merupakan suatu hal
yang mudah, hal ini disebabkan tindak pidana korupsi bukan lagi dianggap
sebagai kejahatan konvensional akan tetapi sudah digolongkan dalam kejahatan
yang luar biasa (extra ordinary crime). Pada tataran realitanya proses pembuktian
di persidangan sering kali menemui hambatan seperti kurang kuatnya bukti yang
diajukan di persidangan, adanya indikasi suap yang ditujukan kepada aparat
penegak hukum, dsb. Sehingga tidak mengherankan jika di dalam proses
penegakkan hukum dalam tindak pidana korupsi di peradilan umum, khususnya
dari segi pembuktian di persidangan sulit untuk diungkap dan seringkali
Terdakwa dinyatakan tidak terbukti melakukan tindak pidana korupsi yang pada
akhirnya Terdakwa dapat dibebaskan dari pemidanaan. Salah satu perkara yang
menarik untuk dikaji adalah Putusan Nomor: 4215/Pid.B/2007/PN.Sby, Terdakwa
diputus bebas. Tindak pidana yang dilakukan oleh Terdakwa yakni telah
melakukan tindak pidana korupsi dengan cara memberikan bantuan dana kepada
parpol yang tidak mendapatkan kursi di Lembaga Perwakilan Rakyat tahun 2004.
Atas dasar tindakan tersebut oleh Jaksa Penuntut Umum didakwa dengan surat
dakwaan subsidair yakni, Primer menggunakan Pasal 2 ayat (1) Jo. Pasal 18
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 Jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP, Subsidair Pasal 3
Jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 Jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Permasalahan dalam skripsi ini adalah, apakah proses pembuktian
terhadap dakwaan Jaksa Penuntut Umum dalam putusan nomor:
4215/Pid.B/2007/PN.Sby telah sesuai dengan KUHAP Jo. Undang-Undang No.31
Tahun 1999 sebagaimana telah diubah Undang-Undang No.20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi kemudian apakah pertimbangan
Hakim menjatuhkan putusan bebas dalam putusan nomor: 4215/Pid.B/2007/PN.Sby telah sesuai dengan fakta yang terungkap di
persidangan.
Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini : tipe penelitian
menggunakan yuridis normatif, pendekatan masalah yang digunakan adalah
Pendekatan Undang-Undang (Statute Approach) dan Pendekatan Konseptual
(Conseptual Approach). Sumber bahan hukum yang digunakan adalah bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder. Analisis bahan hukum yang dilakukan
dengan cara mengidentifikasi fakta hukum, mengumpulkan bahan-bahan hukum,
melakukan telaah atas isu hukum, menarik kesimpulan dan memberikan preskripsi
berdasarkan argumentasi yang dibuat dalam bentuk kesimpulan.
Kesimpulan dalam skripsi ini adalah 1. proses pembuktian di persidangan
dalam putusan nomor: 4215/Pid.B/2007/PN.Sby telah sesuai dengan KUHAP
Jo.U.U. No.31 tahun 1999 serta perubahannya U.U. No 20 tahun 2001 tentang
pemberantasan tindak pidana korupsi. 2. ada beberapa poin pertimbangan hakim
yang tidak sesuai dan kurang argumentasi hukum dalam menginterpretasikan
unsur pasal dakwaan Jaksa Penuntut Umum yang kemudian dikaitkan dengan
fakta-fakta yang terungkap di persidangan. Hal ini nampak dari pertimbangan
Hakim dalam penafsiran unsur secara melawan hukum yang kurang argumentasi
hukum serta Hakim cenderung menafsirkan pasal tersebut secara sempit yakni,
menyatakan bahwa tidak ada larangan memberikan bantuan keuangan kepada
parpol maka tindakan tersebut diperbolehkan. Padahal dalam U.U.Papol Jo. PP 29
Tahun 2005 diatur secara jelas bahwa bantuan parpol hanya diberikan kepada
parpol yang mendapatkan kursi di Lembaga Perwakilan Rakyat tahun 2004.
Saran dalam skripsi ini adalah Hakim dituntut harus lebih jeli dan
terperinci dalam mempertimbangkan aspek-aspek yuridis perbuatan Terdakwa
karena dapat diamati bahwa dalam pertimbangan tidak terbuktinya perbuatan
Terdakwa telah melakukan perbuatan secara melawan hukum, Hakim kekurangan
argumentasi dan terkesan memberikan penafsiran secara sempit terhadap bunyi
pasal dalam U.U. Parpol. Mengingat tindak pidana korupsi merupakan extra
ordinary crime maka dalam penanganannya harus lebih ekstra agar korupsi di
Indonesia dapat segera untuk diberantas. | en_US |