Show simple item record

dc.contributor.authorSYAH YANNUAR ARIEFANDI
dc.date.accessioned2014-01-27T00:28:35Z
dc.date.available2014-01-27T00:28:35Z
dc.date.issued2014-01-27
dc.identifier.nimNIM080710101101
dc.identifier.urihttp://repository.unej.ac.id/handle/123456789/24681
dc.description.abstractTujuan dari penulisan Skripsi ini terdiri dari tujuan umum yakni untuk memenuhi serta melengkapi salah satu persyaratan akademis, juga mencapai gelar Sarjana Hukum pada Universitas Jember dan tujuan khusus yaitu Pertama, untuk mengkaji dan menganalisis wanprestasi dalam perjanjian kerjasama yang dianggap sebagai utang kepailitan. Kedua, Untuk mengkaji dan menganalisis kriteria utang yang tidak dapat dibuktikan secara sederhana dalam mengajukan permohonan pailit. Ketiga, Untuk Mengkaji dan menganalisis Ratio Decidendi (pertimbangan hakim) dalam Putusan Mahkamah Agung RI perkara No. 704.K/Pdt.Sus/2012. Tipe penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan metode pendekatan undang-undang, konseptual, dan studi kasus terhadap putusan Mahkamah Agung RI. Perkara No.704.K/Pdt.Sus/2012. Bahan hukum yang digunakan terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan non hukum. Analisis yang digunakan adalah metode deduktif, yaitu suatu metode berpangkal dari hal yang bersifat khusus atau suatu pengambilan kesimpulan dari pembahasan mengenai permasalahan yang bersifat umum menuju permasalahan yang bersifat khusus. Tinjauan Pustaka dalam penulisan Skripsi ini memuat uraian yang sistematik tentang asas, teori, konsep, dan pengertian- pengertian yuridis yang relevan yaitu mencakup: Perjanjian, Kepailitan, Syaratsyarat Kepailitan, Pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan Kepailitan, Pembuktian, dan Putusan. Hasil dari penelitian Skripsi ini adalah Berdasarkan pemaparan pada babbab sebelumnya, sebagai hasil dari kajian dan analisis dalam penulisan skripsi ini, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :1) Wanprestasi dalam Perjanjian Kerjasama dapat diartikan sebagai utang kepailitan apabila Perjanjian Kerjasama tersebut menimbulkan kerugian yang sudah pasti bagi kreditor dan dapat dibuktikan secara sederhana, sesuai dengan Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU yang bunyinya : “permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah dipenuhi”. Sebaliknya, wanprestasi tidak dapat dikatakan sebagai utang pailit apabila tidak sesuai dengan Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU. 2) Kriteria utang yang tidak dapat dibuktikan secara sederhana adalah utang yang tidak jelas dan belum pasti, yang memerlukan pembuktian lebih lanjut tentang eksistensi utang tersebut melalui gugatan ke Pengadilan Negeri sampai Putusannya mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Kriteria utang yang tidak dapat dibuktikan secara sederhana dalam kepailitan tidak dapat dijadikan dasar untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit. 3) Analisa Ratio Decidendi (pertimbangan hukum) Hakim dari Putusan Mahkamah Agung RI No. 704. K/ Pdt. Sus/ 2012, ada 2 pertimbangan hakim yang paling mendasar, yaitu: 1)Pengadilan Niaga tidak berwenang untuk memeriksa suatu perkara yang menjadi kewenangannya, karena adanya pilihan hukum yang telah disepakati oleh para pihak dalam Perjanjian Kerjasama. Dalam Perjanjian kerjasama tersebut para pihak sepakat untuk menyelesaikan sengketa ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Konsekuensi hukumnya, Hakim Pengadilan Niaga tidak boleh intervensi atau campur tangan untuk mengurangi, menambah, atau menghilangkan isi perjanjian; karena para pihak dalam membuat perjanjian telah mematuhi Pasal 1338 KUH Perdata, sehingga isi perjanjian tersebut berlaku mengikat seperti undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. 2) Tidak adanya utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih dalam kepailitan, menjadikan kewenangan Pengadilan Niaga untuk memeriksa suatu perkara kepailitan hapus. Pengadilan Niaga memiliki kewenangan untuk menangani perkara kepailitan yang memenuhi unsur Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU, yaitu adanya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, serta adanya minimal 2 kreditor. Berdasarkan pemaparan pada bab-bab sebelumnya, sebagai hasil dari kajian dan analisis dalam penulisan skripsi ini, maka disarankan sebagai berikut : 1) Hendaknya pemohon pernyataan pailit harus benar-benar mengerti apa saja yang menjadi syarat dalam kepailitan agar permohonannya dikabulkan. 2) Hendaknya Pemerintah dan DPR merubah dan menyempurnakan Undang-Undang Kepailitan dan PKPU, sehingga ada pedoman yang pasti mengenai pembuktian sederhana dalam memeriksa dan memutus perkara permohonan pernyataan pailit, agar tidak ada perbedaan penafsiran di antara hakim pengadilan Niaga dan hakim Pengadilan Niaga tingkat Kasasi demi kepastian hukum. 3)Hendaknya Pengadilan Niaga dan Mahkamah Agung harus lebih berhati-hati dalam memeriksa dan memutus suatu perkara kepailitan, agar tidak ada pihak yang dirugikan hak nya dengan putusan tersebut.en_US
dc.language.isootheren_US
dc.relation.ispartofseries080710101101;
dc.subjectPEMBATALAN PUTUSAN PAILIT, UTANG PERJANJIAN KERJASAMAen_US
dc.titlePEMBATALAN PUTUSAN PAILIT AKIBAT ADANYA UTANG YANG TIDAK DAPAT DIBUKTIKAN SECARA SEDERHANA DALAM PERJANJIAN KERJASAMA (Kajian Putusan Mahkamah Agung RI. No. 704.K/Pdt.Sus/2012)en_US
dc.typeOtheren_US


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record