Show simple item record

dc.contributor.authorEDI SETIA BUDI
dc.date.accessioned2014-01-26T17:11:56Z
dc.date.available2014-01-26T17:11:56Z
dc.date.issued2014-01-26
dc.identifier.nimNIM020710101230
dc.identifier.urihttp://repository.unej.ac.id/handle/123456789/24376
dc.description.abstractPasal 10 Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP) menyebutkan jenis pidana pokok, yaitu: a. Pidana mati, b. Pidana penjara, c. Kurungan, d. Denda. Perdebatan tentang pidana mati muncul ketika banyak orang yang mulai menanyakan apakah pidana mati masih relevan atau layak diterapkan sebagai suatu pemidanaan di Indonesia. Pertanyaan tersebut dilontarkan bukan tanpa alasan, namun kebanyakan dari mereka menganggap pidana mati melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) yaitu hak untuk hidup. Hak itu terdapat dalam UUD 1945 Pasal 28A yang mengatakan “setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Sehingga mereka menganggap bahwa hak hidup merupakan hak yang paling mendasar dan tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Berbagai alasan dan pertimbangan, pemerintah Indonesia selalu menunda-nunda eksekusi bagi terpidana mati yang telah dijadualkan sebelumnya. Bahkan, ada pelaksanaan eksekusi mati yang memakan waktu lama hingga bertahun-tahun karena berbagai alasan dan pertimbangan tersebut. Misalnya dalam kasus Mahar bin Matar, pria asal Riau ini harus menanggung derita tak terkira. Mahar dijatuhi hukuman mati melalui keputusan Pengadilan Negeri Tembilahan Indragiri Hilir pada 5 Maret 1970, dan juga kasus yang dialami oleh terpidana mati Sumiarsih yang sampai 20 tahun hidup dalam penjara dan tetap menjalani eksekusi mati. Ini sesuatu yang tidak adil. Mereka harus menjalani tiga Pasal 10 Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP) menyebutkan jenis pidana pokok, yaitu: a. Pidana mati, b. Pidana penjara, c. Kurungan, d. Denda. Perdebatan tentang pidana mati muncul ketika banyak orang yang mulai menanyakan apakah pidana mati masih relevan atau layak diterapkan sebagai suatu pemidanaan di Indonesia. Pertanyaan tersebut dilontarkan bukan tanpa alasan, namun kebanyakan dari mereka menganggap pidana mati melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) yaitu hak untuk hidup. Hak itu terdapat dalam UUD 1945 Pasal 28A yang mengatakan “setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Sehingga mereka menganggap bahwa hak hidup merupakan hak yang paling mendasar dan tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Berbagai alasan dan pertimbangan, pemerintah Indonesia selalu menunda-nunda eksekusi bagi terpidana mati yang telah dijadualkan sebelumnya. Bahkan, ada pelaksanaan eksekusi mati yang memakan waktu lama hingga bertahun-tahun karena berbagai alasan dan pertimbangan tersebut. Misalnya dalam kasus Mahar bin Matar, pria asal Riau ini harus menanggung derita tak terkira. Mahar dijatuhi hukuman mati melalui keputusan Pengadilan Negeri Tembilahan Indragiri Hilir pada 5 Maret 1970, dan juga kasus yang dialami oleh terpidana mati Sumiarsih yang sampai 20 tahun hidup dalam penjara dan tetap menjalani eksekusi mati. Ini sesuatu yang tidak adil. Mereka harus menjalani tiga pidana yakni pidana mati, pidana penjara selama 39 tahun dan 20 tahun, dan pidana psikologis. masih banyak lagi kasus-kasus yang lain yang hampir sama dengan dua kasus tersebut. Adapun permasalahan yang dianalisis pada skripsi ini berkaitan dengan penundaan pelaksanaan pidana mati, yaitu Apakah penundaan pelaksanaan pidana mati di Indonesia bertentangan dengan hak asasi manusia sebagaimana diatur dalam Undang- undang no. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Apakah penundaan pelaksanaan pidana mati, terpidana mati menjalani dua pidana pokok Tujuan penulisan skripsi ini yang pertama adalah untuk mengetahui, mengkaji mengenai penundaan pelaksanaan pidana mati di Indonesia telah sesuai dengan Hak Asasi Manusia, dan yang kedua adalah untuk mengetahui dan mengkaji akibat hukum yang timbul dengan adanya penundaan pelaksanaan pidana mati. Metode penulisan skripsi ini adalah yuridis normatif dengan metode pendekatan masalah menggunakan pendekatan perundang- undangan (statute approach), dan pendekatan konseptual (conseptual approach). Kesimpulan yang dapat diambil dari penulisan skripsi ini adalah Secara yuridis normatif penundaan pelaksanaan pidana mati bertentangan dengan Undang- Undang nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM, sebagaimana diatur dalam dan pasal 3 ayat (2) yang berbunyi Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum. Adanya penundaan pelaksanaan pidana mati menyebabkan terpidana mati mengalami penderitaan ganda atau lebih dari satu sanksi pidana, hal ini bertentangan dengan sistem pemidanaan di Indonesia. Untuk menghindari pelanggaran terhadap terpidana mati maka perlu segera dilaksanakan eksekusi terhadap terpidana mati yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, serta segera dibuat aturan peraturan perundang- undangan yang pasti tentang penundaan pelaksanaan pidana mati, atau sebagaimana diatur dalam Rancangan Kitab Undang- Undang Hukum Pidana 89 ayat 1, adanya penundaan pelaksanaan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 tahun apabila; a. reaksi masyarakat terhadap terpidana tidak terlalu besar, b terpidana menunjukkan rasa menyesal dan ada harapan untuk diperbaiki, c. kedudukan terpidana dalam penyertaan tindak pidana tidak terlalu penting, dan d. ada alasan yang meringankan.en_US
dc.language.isootheren_US
dc.relation.ispartofseries020710101230;
dc.subjectPENUNDAAN PELAKSANAAN PIDANA MATI DI INDONESIAen_US
dc.titleANALISIS YURIDIS PENUNDAAN PELAKSANAAN PIDANA MATI DI INDONESIAen_US
dc.typeOtheren_US


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record