Show simple item record

dc.contributor.authorMEITA DEVI RAKHMAYANI
dc.date.accessioned2014-01-23T13:08:10Z
dc.date.available2014-01-23T13:08:10Z
dc.date.issued2014-01-23
dc.identifier.nimNIM070710101117
dc.identifier.urihttp://repository.unej.ac.id/handle/123456789/22585
dc.description.abstractPenulisan Skripsi ini dilatar belakangi oleh adanya suatu ambiguitas, apabila dicermati secara seksama adanya Kewenangan Mahkamah Konstitusi berkaitan dengan impeachment masih terdapat beberapa ambiguitas atau kekaburan yang tentu saja menjadi sebuah pertanyaan mendasar. Hal itu tampak apabila dilihat dari dua sudut pandang. Dalam hal ini apakah fungsi Mahkamah Konstitusi hanya berkaitan dengan pengujian terhadap pendapat DPR bahwa presiden diduga telah melakukan pelanggaran Hukum, atau fungsi Mahkamah Konstitusi berkaitan dengan Impeachment adalah untuk mengadili tuduhan atau dakwaan DPR tentang pelanggaran hukum oleh Presiden. Dengan mendasarkan pada dua persepsi tersebut, dapat disimpulkan apabila pendapat pertama yang berlaku, maka Mahkamah Konstitusi akan memeriksa dan memutus, apakah pendapat DPR itu benar atau salah. Dalam hal ini Mahkamah Konstitusi tidak mengadili sendiri dan menetapkan sanksinya yang berupa pemberhentian dari jabatannya sebagai Presiden atau bebas. Akan tetapi jika Mahkmah Konstitusi bertindak sebagai hakim dalam mengadili perkara dalam pelanggaran hukum oleh presiden, maka Mahkamah Konstitusi tentu saja dapat memutuskan dan menetapkan sanksi/hukumannya. Pada sisi lain kerancuan juga dapat ditemukan apabila kita menelaah Pasal 24C yang menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final. Akan tetapi tidak menyebutkan secara eksplisit apakah putusan Mahkamah Konstitusi tersebut bersifat mengikat (binding). Apabila dikaitkan dengan pasal 7B ayat (5), maka akan menimbulkan problematika baru antara lain ternyata DPR tidak meneruskan usul tersebut ke MPR, serta apakah putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi tersebut harus dan wajib diikuti oleh MPR. Pengaturan tentang hal itu masih belum jelas (tidak konkret), oleh karena itu kemudian ternyata putusan Mahkamah Konstitusi tersebut tidak bersifat mengikat,maka terhadap putusan tersebut MPR dapat saja melakukan penganuliran dengan alasan realitas politik di MPR tidak menghendaki pemberhentian Presiden dan/atau Wakil presiden. 2 Ni’ matul Huda, Politik Ketatanegaraan Indonesia; Kajian Terhadap Dinamika Perubahan UUD 1944,FH UII Press, Yogyakarta, 2003, hlm. 237-238 2 Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis memandang hal ini sangat urgent untuk dilakukan sebuah kajian mengenai latar belakang dibentuknya Mahkamah Konstitusi khususnya berkaitan dengan Impeachment terhadap persiden dan/atau wakil presiden yang menjadi salah satu kewenangannya dalam suatu karya ilmiah yang berbentuk skripsi dengan judul “Kewenangan Mahkamah Konstitusi Untuk Memutus Pendapat DPR Tentang Dugaan Pelanggaran Hukum Oleh Presiden Dan/Atau Wakil Presiden Di Indonesia” Terdapat dua rumusan masalah dalam penulisan Skripsi ini, yakni : pertama, Bagaimana mekanisme peradilan yang dilakukan MK dalam memutus pendapat DPR tentang dugaan pelanggaran hukum oleh presiden dan/atau wakil presiden di Indonesia, dan kedua, Apa kriteria hukum yang digunakan untuk menyatakan bahwa presiden dan/atau wakil presiden telah melakukan pelanggaran hukum. Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah untuk menjawab 2 (dua) rumusan masalah diatas. Metode penelitian yang digunakan adalah dengan menggunakan tipe penelitian yuridis normatif (legal research) dengan menggunakan pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan konseptual (conceptual approach) dan pendekatan asas-asas hukum (legal principle approach). Sumber bahan hukum yang digunakan yaitu terdiri atas bahan hukum primer, bahan hukum dan sekunder. Sedangkan analisis bahan hukum yang digunakan adalah dengan menggunakan metode deduktif. Kesimpulan yang diperoleh dari penulisan Skripsi ini adalah yang pertama, Lembaga tinggi negara yakni MK merupakan lembaga yang berwenang untuk mengadili, memeriksa, dan memutuskan apakah dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden tersebut diterima atau ditolak, benar ataupun tidak. Jika diterima maka akan divonis benar atau tidak Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum. Namun sebaliknya jika dugaan tersebut ditolak, maka kasus pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden tersebut dianggap selesai. Selanjutnya MK menyerahkan lagi kepada DPR untuk mengajukan usul pemberhentian kepada MPR. Kedua, Kriteria-kriteria hukum yang digunakan untuk menyatakan bahwa presiden dan/atau wakil presiden telah melakukan pelanggaran hukum dijelaskan dalamen_US
dc.language.isootheren_US
dc.relation.ispartofseries070710101117;
dc.subjectKEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI UNTUK MEMUTUS PENDAPAT DPR TENTANG DUGAAN PELANGGARAN HUKUM OLEH PRESIDEN DAN/ATAU WAKIL PRESIDEN DI INDONESIA THE AUTHORITY OF CONTITUTIONAL COURT TOen_US
dc.titleKEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI UNTUK MEMUTUS PENDAPAT DPR TENTANG DUGAAN PELANGGARAN HUKUM OLEH PRESIDEN DAN/ATAU WAKIL PRESIDEN DI INDONESIAen_US


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record