dc.description.abstract | Tindak pidana merupakan perbuatan yang oleh undang-undang dinyatakan
dilarang yang disertai ancaman pidana pada barang siapa yang melanggar
larangan tersebut. Setiap terjadi tindak pidana pasti akan menimbulkan korban.
Korban dari tindak pidana tidak hanya orang dewasa tapi juga anak-anak. Di
Indonesia, untuk mengatakan seseorang masih anak-anak atau tidak terdapat
kesulitan, dikarenakan adanya perbedaan pengertian mengenai anak pada tiap
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Terkait dengan Pasal 332 ayat (1)
ke-1 KUHP batasan umur untuk dikatakan sebagai seorang perempuan yang
belum dewasa, pada KUHP mengacu pada Pasal 45 KUHP tetapi dengan adanya
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak maka Pasal 45
KUHP tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi sehingga dalam kasus pada skripsi
ini antara Jaksa Penuntut Umum, Hakim Pengadilan Negeri dan Mahkamah
Agung terjadi perbedaan dalam menafsirkan peraturan perundang-undangan untuk
menyatakan korban dalam kasus tindak pidana tersebut masih anak-anak atau
bukan.
Pada skripsi ini rumusan masalah yang dibahas ada dua rumusan masalah
yaitu, Apakah sudah tepat jaksa dalam dakwaannya menyatakan korban sebagai
anak, dan Apakah dasar pertimbangan hakim Mahkamah Agung mengabulkan
Kasasi dari Jaksa Penuntut Umum sudah tepat dalam Putusan MA No. 464
K/Pid/2006. Tujuan penulisan adalah untuk menganalisis dapatkah korban dalam
tindak pidana melarikan anak orang tanpa izin dalam perkara ini dianggap sebagai
anak seperti dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum dan untuk menganalisis dasar
pertimbangan hakim Mahkamah Agung dalam mengabulkan kasasi dari Jaksa
Penuntut Umum dalam Putusan MA No. 464 K/Pid/2006.
Metode penelitian yang digunakan yaitu tipe penelitian yang
menggunakan pendekatan bersifat yuridis normatif, pendekatan masalah pertama
menggunakan pendekatan undang-undang (statute approach) yaitu undang
Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana (KUHP), Undangundang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-undang Nomor 3
Tahun 1997 tentang Peradilan Anak dan Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pendekatan kedua
menggunakan studi kasus (case study) yaitu putusan Mahkamah Agung No. 464
K/Pid/2006. Bahan hukum yang digunakan ada dua yaitu bahan hukum primer
dan bahan hukum sekunder.
Kesimpulan yang dapat diambil dari pokok bahasan yang diuraikan adalah
dakwaan pada surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum yang menyatakan korban
sebagai anak tidak tepat karena, untuk menentukan batasan umur maksimal bagi
korban tindak pidana tersebut seharusnya mengacu pada Undang-undang Nomor
23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dasar pertimbangan hakim pada
Putusan Mahkamah Agung Nomor 464 K/Pid/2006 menerima kasasi Jaksa
Penuntut Umum dan menjatuhkan pidana terhadap terdakwa adalah tepat
menggunakan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan karena
tujuan terdakwa melarikan korban yaitu untuk memilikinya baik dengan
pekawinan sudah tercapai. Mengenai seorang yang akan melangsungkan
perkawinan sebelum berumur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat ijin dari
kedua orang tuanya. Sehingga Pasal 332 ayat (1) ke-1 dalam kasus terbukti.
Saran dari penulis, Jaksa Penuntut Umum untuk menentukan batasan
maksimal korban tindak pidana dalam kasus tersebut seharusnya mengacu pada
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak bukan
mengacu pada pendapat pakar, sebab undang-undang merupakan bahan hukum
primer yang autoritatifnyanya lebih tinggi untuk digunakan sebagai acuan dari
pada bahan hukum sekunder (pendapat pakar). Dalam dasar pertimbangan hakim
Mahkamah Agung sebaiknya lebih memperhatikan pertimbangan dengan dasar
hukum dan pertimbangan dengan dasar non hukum sebelum menerima kasasi dari
Jaksa Penuntut Umum. Sehingga putusan yang dijatuhkan oleh Hakim Mahkamah
Agung kepada terdakwa dapat dirasa adil baik bagi terdakwa maupun korban | en_US |