dc.description.abstract | Penyelesaian sengketa hasil pemilihan umum kepala anggota DPR, DPD dan
DPRD yang terjadi dan dilakukan Mahkamah Konstitusi merupakan penegakan
hukum dalam hal sengketa hasil pemilihan umum dalam praktik ketatanegaraan di
Indonesia, dalam melaksanakan kewenangan untuk menguji permohonan
berkaitan perselisihan hasil pemilihan umum anggota DPR, DPD dan DPRD,
Mahkamah Konstitusi telah menerbitkan Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK)
tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU),
yaitu Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 16 Tahun 2009 tentang Pedoman
Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Permasalahan dalam skripsi ini adalah :
1. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi terjadinya sengketa Hasil
Pemilihan Umum dalam penyalenggaraan Pemilu anggota DPR, DPD dan
DPRD di Indonesia?
2. Bagaimanakah proses penanganan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum
anggota DPR, DPD dan DPRD dalam praktik ketatanegaraan Indonesia?
Tujuan dari penulisan ini terbagi menjadi 2 (dua), yaitu: tujuan umum dan tujuan
khusus. Tujuan umum dalam penulisan skripsi ini yaitu: untuk memenuhi syarat
yang diperlukan guna meraih gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Jember, Sedangkan tujuan khususnya yaitu untuk mengetahui dan
mengkaji permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini.
Tipe penulisan dalam skripsi ini adalah yurisis normatif sedangkan pendekatan
masalah yaitu dengan mengunakan Undang-Undang dan konseptual. Metode
pengumpulan bahan hukum yang digunakan adalah sumber bahan hukum primer,
dan sumber bahan hukum sekunder, serta analisa bahan hukum. Pada bab
pembahasan, akan membahas mengenai 2 (dua) hal yang terdapat dalam rumusan
masalah.
Penyebab adanya suatu sengketa dalam perhutungan hasul pemilu, tidak lepas dari
adanya tindak kecurangan dalam sistem pelaksanaannya, baik itu dalam pemilu
anggota DPR, DPD dan DPRD. Munculnya pelanggararan atau kecurangan
tersebut dalam pemilu adalah akibat berubahnya sistem dan prosedur pemilihan
umum itu sendiri, yang memicu praktek kecurangan dari parpol, lembaga
penyelenggara dan perseorangan didalamnya. Ketidaksiapan KPU dan adanya
beberapa kelompok masyarakat yang golput merupakan sebab utama berbagai
kasus pelanggaran dalam Pemilu. Jenis pelanggaran dan sengketa tersebut dapat berupa pelanggaran administrasi dan tindak pidana pemilu yang menyebabkan
terjadinya sengketa hasil sengketa pemilu. Pelanggaran dan sengketa tersebut
dapat diselesaikan melalui lembaga peradilan tata usaha negara, Peradilan Umum
dan Mahkamah Konstitusi selama jenis dan bentuk pelanggaran dan sengketa
tersebut disesuaikan dengan persyaratan dan kewenangan masing-masing lembaga
peradilan tersebut.
Proses penyelesaian sengketa hasil pemulikada di atas adalah dengan melalui
mekanisme persidangan sebagaimana yang telah diatur dalam Peraturan
Mahkamah Konstitusi Nomor 16 Tahun 2009 tentang Pedoman Beracara dalam
Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Yang pada dasarnya
sama dengan hukum acara sengketa hasil Pemilukada dan Pilpres. Diantaranya
meliputi proses Pengajuan Permohonan, pemeriksaan permohonan, pembuktian
dan alat bukti, Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH), dan penjatuhan putusan
oleh MK.
Saran penulis, Pertama, Pengaturan tentang pelanggaran administrasi dan
pelanggaran tindak pidana pemilu sangat lemah, karena diatur terlalu umum, tidak
diatur jenis pelanggaran administrasi serta jenis sanksinya, serta bagaimana proses
penyelesaiannya. Berdasarkan kesimpulan tersebut memperlihatkan bahwa masih
perlu dilakukannya sejumlah perbaikan untuk pengaturan penanganan
pelanggaran pemilu serta penguatan dalam pelaksanaannya nanti. Dan perlu juga
ketegasan dalam sanksi-sanki atas pelanggaran-pelanggaran tersebut di dalam
peraturan terkait. Kedua, perlu diadakannya revisi terhadap peraturan-peraturan
MK pada bagian pihak-pihak bersengketa yang hendak mengajukan permohonan
terkait perselisihan hasil pemilu legislative (No. 16 Tahun 2009, Pasal 3). Yang
isinya hanya mencantumkan anggota calon DPR, DPD, DPRD, dan Partai Politik
sebagai pemohon yang mempunyai kepentingan langsung dalam PHPU dengan
mengesampingkan masyarakat sebagai pemilih (voter) dalam Pemilu. Dengan ini
apabila masyarakat merasa hak-haknya dilanggar dalam proses pemilu berjalan,
maka masyarakat itu tidak dapat mengajukan permohonan sengketa hasil pemilu
di MK. | en_US |