dc.description.abstract | Kemajuan perekonomian suatu negara ditopang oleh banyak hal, yang diantaranya adalah
semakin banyaknya usaha-usaha yang dilakukan oleh masyarakatnya dalam bidang ekonomi.
Baik usaha yang berskala kecil maupun usaha yang berskala besar. Dalam menjalankan
usaha dengan bentuk apapun tentunya tidak akan terlepas dari faktor modal. Karena tidak
dapat dipungkiri bahwa segala macam jenis usaha itu dapat dipastikan membutuhkan modal,
dan tidak semua orang memiliki uang yang cukup untuk digunakan sebagai modal usaha.
Sebagai bentuk bantuan bagi masyarakatnya, maka pemerintah memberikan kemudahan
dengan adanya berbagai macam fasilitas kredit yang ditawarkan dalam sistem perbankan.
Dalam pemberian kredit ini tentu menggunakan jaminan berupa benda milik debitur yang
harus diberikan guna menjamin pelunasan hutangnya demi keamanan dan kepastian hukum,
khususnya apabila setelah jangka waktu yang diperjanjikan, debitur tidak meluasi hutangnya
atau melakukan wanprestasi. Dalam masyarakat, bentuk jaminan yang paling banyak
digunakan sebagai agunan dalam perjanjian kredit adalah berupa hak atas tanah. Hak atas
atas tanah ini bermacam-macam, baik yang dengan status hak milik, hak guna bangunan, hak
guna usaha maupun hak pakai. Kredit dengan menggunakan jaminan berupa hak atas tanah
ini sudah disediakan lembaga hak jaminan yang kuat, yaitu Hak Tanggungan yang diatur
dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996. Hak tanggungan adalah hak jaminan atas
tanah untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan kepada kreditur tertentu
terhadap kreditur-kreditur lain. Dalam arti, bahwa debitor cidera janji (wanprestasi) maka
kreditur pemegang hak tanggungan berhak menjual melalui pelelangan umum tanah yang
dijadikan jaminan menurut ketentuan peraturan perUndang-Undangan yang bersangkutan
dengan hak yang mendahulu, daripada kreditur-kreditur yang lain. Kedudukan diutamakan
tersebut, sudah barang tentu tidak mengurangi preferensi piutang-piutang Negara menurut
ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku. Sebagai bentuk perlindungan hukum bagi para
pihak dan untuk menghindari resiko yang mungkin terjadi atas obyek Hak Tanggungan,
maka dicantumkannya janji-janji dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) dan
dibuat dalam bentuk blanko yang sesuai dengan ketentuan dari Pemerintah atau dengan kata
lain berbentuk perjanjian baku (standart contract). Janji tersebut salah satunya adalah Janji
bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh seluruh atau sebagian dari ganti rugi
yang diterima oleh pemberi Hak Tanggungan untuk pelunasan piutangnya apabila Hak
Tanggungan atau dicabut haknya untuk kepentingan umum.Sebab bukan tidak mungkin hak
atas tanah yang dijadikan sebagai jaminan dalam perjanjian kredit tersebut harus dilepaskan
untuk kepentingan umum, mengingat tingginya kebutuhan akan tanah pada saat ini.
Berdasarkan hal tersebut dalam Skripsi ini penulis merumuskan rumusan apa
langkah hukum yang dapat dilakukan oleh Pemerintah apabila kreditur sebagai pemegang
Hak Tanggungan tidak memberikan ijinnya terhadap debitur sebagai pemberi Hak
Tanggungan untuk melepaskan obyek Hak Tanggungan untuk kepentingan umum, apa
akibat hukum dari pelepasan hak oleh debitur atas obyek Hak Tanggungan yang digunakan
untuk kepentingan umum, , serta bagaimana langkah penyelesaian yang dapat dilakukan
apabila ganti kerugian yang diberikan kepada Kreditur tidak mencukupi untuk melunasi
utang debitur. Adapun tujuan penelitian dalam Skripsi ini adalah untuk menganalisis maksud
dari permasalahan yang hendak dibahas dalam Skripsi ini.
Pada penulisan Skripsi ini penulis menggunakan tipe penelitian yang bersifat
yuridis normatif (legal research), yaitu suatu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji
penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif yang berlaku. Adapun
pendekatan yang digunakan adalah menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute
approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Pada bahan hukum, penulis menggunakan tiga jenis bahan hukum, antara lain bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder, dan bahan non hukum. Sedangkan pada analisis bahan hukum, penulis
menggunakan metode deduksi, yaitu berpedoman dari prinsip-prinsip dasar kemudian
menghadirkan obyek yang hendak diteliti.
Adapun kesimpulan pada skripsi ini adalah bahwa apabila kreditur sebagai pemegang
Hak Tanggungan tidak memberikan ijinnya terhadap debitur sebagai pemberi Hak
Tanggungan untuk melepaskan obyek Hak Tanggungan untuk kepentingan umum adalah
dengan jalan mengadakan pencabutan hak. Hal ini tentunya juga dengan disertai pemberian
ganti kerugian. Apabila debitur melepaskan haknya atas tanah tersebut, maka haknya atas
kepemilikan tanah tersebut berakhir, dan hal ini juga dapat menyebabkan berubahnya
kedudukan kreditur sebagai pemegang Hak Tanggungan, yaitu dari kreditur preferen
menjadi kreditur konkuren. Akan tetapi karena telah dicantumkannya janji tersebut maka
kreditur tetap berhak untuk didahulukan dalam pengembalian piutangnya. Setelah debitur
memberikan sebagian atau seluruhnya ganti kerugian yang diterimanya kepada kreditur
sebesar sisa utangnya, maka kemudian tidak perlu lagi untuk dilakukannya proses roya
sebagai bukti bahwa tanah tersebut telah dibersihkan dari Hak Tanggungan. Sebab apabila
tanah tersebut dilepaskan untuk kepentingan umum, maka hak atas tanah itu hapus dan
dengan demikian Hak Tanggungan yang membebaninya juga hapus dengan sendirinya.
Namun apabila ganti kerugian yang diterima tidak mencukupi untuk pelunasan utangnya,
maka dapat diperjanjikan atau membuat perjanjian baru untuk memberikan jaminan lainnnya
sebagai jaminan pelunasan utangnya, atau dapat juga dengan cara mengacu pada ketentuan
mengenai jaminan umum dalam pasal 1131 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. | en_US |