Show simple item record

dc.contributor.authorTORBA GULTOM, RATU
dc.date.accessioned2014-01-22T05:26:31Z
dc.date.available2014-01-22T05:26:31Z
dc.date.issued2014-01-22
dc.identifier.nimNIM080710191008
dc.identifier.urihttp://repository.unej.ac.id/handle/123456789/20919
dc.description.abstractPemberantasan tindak pidana korupsi ini berhubungan erat dengan kebijakan formulasi dalam penegakan hukum khususnya kriminalisasi yakni perihal perbuatan melawan hukum. Banyak kesalahan yang dibuat oleh pembuat undang-undang dalam merumuskan pasal-pasal dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sehingga menimbulkan interpretasi yang berbeda-beda dari aparat penegak hukum yang menyebabkan timbulnya ketidakpastian hukum dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi. Rumusan masalah dalam skripsi ini yaitu apakah terdapat perbedaan antara unsur melawan hukum dalam Pasal 2 ayat (1) dengan unsur menyalahgunakan wewenang dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK) dan apakah unsur melawan hukum dalam Pasal 2 ayat (1) dan unsur menyalahgunakan wewenang dalam Pasal 3 UU PTPK dapat diterapkan dalam satu surat dakwaan pada kasus korupsi. Penulisan skripsi ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis apakah terdapat perbedaan antara unsur melawan hukum dalam Pasal 2 ayat (1) dan unsur menyalahgunakan wewenang dalam Pasal 3 dan untuk mengetahui serta menganalisis apakah unsur melawan hukum dalam Pasal 2 ayat (1) dan unsur menyalahgunakan wewenang dalam Pasal 3 UU PTPK dapat diterapkan dalam satu surat dakwaan pada kasus korupsi. Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah yuridis normatif dengan pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Kesimpulan yang diambil yaitu, perbedaan unsur melawan hukum dalam Pasal 2 ayat (1) dan unsur menyalahgunakan wewenang dalam Pasal 3 UU PTPK adalah mengenai kualifikasi subjek deliknya. Dalam Pasal 2 ayat (1) setiap orang termasuk korporasi dapat menjadi subjek delik, sedangkan Pasal 3 subjek deliknya hanya orang yang mempunyai jabatan atau kedudukan dan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 tidak dapat diterapkan dalam satu surat dakwaan, namun seringkali Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 disusun oleh Penuntut Umum menggunakan dakwaan subsidair. Pasal 2 ditempatkan pada dakwaan primair, sedangkan Pasal 3 dakwaan subsidair. Seharusnya kedua pasal tersebut tidak digabungkan dan dibuat dalam dakwaan terpisah. Pasal 3 dapat dijadikan dakwaan primair bagi tersangka yang mempunyai jabatan atau kedudukan, dan subsidairnya dapat menggunakan pasal lain. Adapun saran-saran yang disampaikan yaitu harus dilakukan pembaharuan terhadap UU PTPK, yaitu dengan cara mengubah rumusan delik dalam Pasal 2 dan Pasal 3 yang menjadi bagian inti dari tindak pidana korupsi yang menyangkut kualifikasi subjek tindak pidana korupsi, yang ada di dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU PTPK , sehingga semua orang dapat dikualifikasikan sebagai subjek tindak pidana korupsi dapat dijerat dengan pasal tersebut dan unsur-unsur delik yang ada dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU PTPK subtansinya harus diperbaiki agar tidak menimbulkan beragam penafsiran oleh aparat penegak hukum dalam rangka penegakan hukum tindak pidana korupsi, agar tidak menyebabkan adanya ketidakpastian hukum bagi pencari keadilan.en_US
dc.language.isootheren_US
dc.relation.ispartofseries080710191008;
dc.subjectUNSUR MELAWAN HUKUM, MENYALAHGUNAKAN WEWENANG, TINDAK PIDANA KORUPSIen_US
dc.titleANALISIS YURIDIS UNSUR MELAWAN HUKUM DAN MENYALAHGUNAKAN WEWENANG DALAM TINDAK PIDANA KORUPSIen_US
dc.typeOtheren_US


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record