dc.description.abstract | Insiden penyakit virus pada tanaman kedelai merupakan salah satu faktor
pembatas upaya peningkatan produksi kedelai. Varietas kedelai unggul dengan
produksi tinggi yang telah dihasilkan melalui pemuliaan varietas, baru sedikit
yang dilaporkan memiliki ketahanan terhadap penyakit virus. Pengembangan
genotipe kedelai dengan sifat produksi tinggi dan tahan terhadap penyakit tertentu,
sangat diperlukan. Genotipe kedelai UNEJ-1 dan UNEJ-2 yang dihasilkan melalui
perakitan varietas, memiliki keunggulan selain produksinya tinggi dengan ukuran
biji besar juga agak tahan penyakit karat daun kedelai. Respon dua genotipe
tersebut terhadap infeksi virus kedelai masih perlu dievaluasi. Penelitian telah
dilakukan untuk mengetahui respon ketahanan dua genotipe tersebut terhadap
virus kedelai, melalui deteksi gejala dan tingkat keparahan penyakit virus pada
lahan pertanaman kedelai.
Genotipe kedelai yang diuji UNEJ-1 dan UNEJ-2, dengan varietas Burangrang
(produksi tinggi, ukuran biji besar, agak tahan karat daun kedelai) dan
lokon (rentan terhadap virus) sebagai pembanding, di tanam di lahan sawah pada
petak percobaan ukuran 7,3 m x 6,4 m (46,72m
2
) berisi 680 tanaman per petak
dengan tiga ulangan untuk setiap genotipe/varietas. Pada setiap petak percobaan
ditentukan lima petak contoh secara acak diagonal, dengan 10 tanaman per petak.
Insiden penyakit virus pada setiap genotipe, dideteksi melalui gejala yang
muncul pada tanaman dari penularan secara alami. Pengamatan gejala dilakukan
setiap hari sampai muncul gejala yang paling awal. Gejala dikelompokkan berdasarkan
tipe gejala dari delapan jenis virus yang diketahui menyerang kedelai,
mengacu panduan petunjuk bergambar dari Puslitbangtan tahun 1990. Saat paling
awal gejala muncul, persentase tanaman terinfeksi, dan tingkat keparahan
penyakit diamati pada setiap genotipe/varietas. Untuk memastikan bahwa gejala
yang muncul pada tanaman di lapangan benar-benar disebabkan oleh infeksi virus,
dilakukan uji penularan virus melalui inokulasi buatan di rumah kaca. Penularan
dilakukan secara mekanis melalui infeksi cairan tanaman sakit.
Persentase tanaman terinfeksi (insiden penyakit) dan tingkat keparahan
penyakit diamati satu minggu sekali mulai munculnya gejala paling awal sampai
tanaman umur 4 minggu setelah tanam (mst). Tingkat keparahan penyakit ditentukan
dengan menghitung intensitas penyakit berdasarkan nilai katagori dengan
skala 0-4, menggunakan rumus: IP = [∑ (n
x v
)]/(Z x N) x 100%. Laju infeksi
dihitung untuk penyakit yang bersifat polisiklik dengan rumus X = X
i
. Percobaan
disusun
menggunakan
rancangan
acak
kelompok
Sub
sampling,
dan
data
dianalisis
dengan
uji
jarak
berganda
Duncan
5
%.
Pengamatan dilakukan pula terhadap populasi kutu daun Aphididae yang
berperan sebagai vektor virus kedelai. Spesies Aphis yang ditemukan diidentifikasi
dan populasi ditentukan dari jumlah imago Aphis tidak bersayap pada dua
daun muda per tanaman contoh saat tanaman umur dua minggu.
Pada semua genotipe/varietas kedelai yang diuji ditemukan tanaman yang
menunjukkan gejala mirip gejala infeksi virus. Gejala berupa klorotik berwarna
hijau muda sampai kuning dan mosaik pada daun, permukaan daun tidak rata atau
tampak terjadi lepuh-lepuh hijau tua. Pada semua tanaman uji hanya dijumpai satu
tipe gejala yang diperkirakan akibat infeksi satu jenis virus. Saat awal munculnya
gejala pada semua genotipe/varietas yang diuji terjadi bersamaan pada tanaman
umur 2 mst. Penularan secara mekanis di rumah kaca, membuktikan bahwa
penyebab gejala dapat ditularkan ke semua genotipe/varietas yang diuji, sehingga
dapat dipastikan bahwa penyebab gejala adalah virus bukan faktor abiotik. Gejala
yang dihasilkan melalui penularan tersebut mosaik sama dengan gejala yang
ditemukan di lapangan. Dibandingkan dengan gejala dari delapan jenis virus yang
diketahui menyerang kedelai, gejala tersebut menyerupai gejala infeksi Soybean
mosaic virus (SMV).
Penularan virus kedelai dapat terjadi secara mekanis, melalui serangga
vektor, dan kebanyakan virus ditularkan oleh Aphis glycines Matsumura dan
0
e
rt
A. craccivora Koch. Pada tanaman uji di lapangan ditemukan satu spesies Aphis
yaitu A. glycines yang merupakan vektor SMV. Populasi Aphis tidak bersayap
pada tanaman umur 2 mst rata-rata 6,3-9,6 ekor/dua daun. Peningkatan insiden
penyakit pada tanaman umur 3 mst dapat terjadi karena aktivitas A. glycines
sebagai vektor. Berdasarkan kemiripan gejala infeksi virus pada tanaman uji
dengan gejala SMV pada kedelai, virus dapat ditularkan secara mekanis, dan
keberadaan A. glycines pada petak percobaan yang diperkirakan berperan menularkan
virus, maka virus yang menginfeksi genotipe/varietas kedelai yang diuji
diduga SMV.
Insiden dan intensitas penyakit virus pada UNEJ-1 dan UNEJ-2 lebih rendah
dari
Lokon
yang
rentan
terhadap
virus
kedelai,
meskipun
secara
statistik
tidak
berbeda
nyata. Laju infeksi penyakit pada UNEJ-1 tidak berbeda dengan Lokon,
sedangkan UNEJ-2 lebih rendah dari Lokon. Maka berdasarkan insiden, intensitas,
dan laju infeksi penyakit, genotipe UNEJ-1 dan UNEJ-2 masing-masing
dikatagorikan agak rentan dan agak tahan terhadap infeksi virus yang diduga
SMV. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk identifikasi virus secara lebih
rinci melalui uji serologi atau sifat fisik virus, dan pengujian respon UNEJ-1 dan
UNEJ-2 terhadap virus kedelai yang lain melalui inokulasi buatan di rumah kaca. | en_US |