Show simple item record

dc.contributor.authorTOMI SUBIAKTO
dc.date.accessioned2014-01-21T02:09:57Z
dc.date.available2014-01-21T02:09:57Z
dc.date.issued2014-01-21
dc.identifier.nimNIM040710101163
dc.identifier.urihttp://repository.unej.ac.id/handle/123456789/19275
dc.description.abstractMahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman menurut Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memiliki kewenangan mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UndangUndang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Disamping kewenangan-kewenangan tersebut diatas, menurut Pasal 24C ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 Mahkamah Konstitusi memiliki kewajiban untuk memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaraan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar. Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam memutus pembubaran partai politik apabila sejenak diperhatikan akan timbul pertanyaan, apakah pembubaran partai politik tidak bertentangan dengan prinsip demokrasi dan hak asasi manusia. Padahal apabila ditelisik kebelakang, perlindungan terhadap hak asasi manusia merupakan salah satu elemen yang penting dari negara hukum. Walaupun UUD NRI Tahun 1945 memberikan kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memutus pembubaran partai politik, pada saat yang sama UUD NRI Tahun 1945 tidak memberikan ketentuan yang jelas dan tegas mengenai alasan dan atas dasar apa suatu partai politik dapat dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi. UUD NRI Tahun 1945 sebagai peraturan perundang- undangan yang tertinggi di Indonesia lebih memilih untuk mendelegasikan pengaturan mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam memutus pembubaran partai politik kepada undang-undang yang notabenenya sebagai produk politik yang sarat dengan kepentingan individu dan golongan. Hal ini dapat dicermati dari ketentuan Pasal 24C ayat (6) UUD NRI Tahun 1945 yang berbunyi, “Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara serta ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan undang-undang”. Sepintas apabila melihat uraian diatas maka akan tampak adanya ambivalensi antara UUD NRI Tahun 1945 dalam memberikan kebebasan dan kewenangan sebagaimana tersebut diatas sehingga disini diperlukan adanya parameter yang tegas dan jelas tentang alasan-alasan dan/atau dasar pembubaran partai politik. Hal ini semata-mata dimaksudkan untuk meminimalisir potensi tindakan sewenang-wenang dari penguasa dalam menjalankan kekuasaannya. Berdasarkan uraian tersebut diatas, penulis tertarik untuk mengkaji dan menganalisa lebih lanjut kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam memutus pembubaran partai politik terutama dikaitkan dengan adanya kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat dalam suatu karya ilmiah berbentuk skripsi dengan judul “ANALISIS YURIDIS PELAKSANAAN KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MEMUTUS PEMBUBARAN PARTAI POLITIK”. Sedangkan permasalahan yang penulis rumuskan dalam skripsi ini, pertama, pengajuan pembubaran partai politik oleh pemerintah kepada Mahkamah Konstitusi, kedua, Apakah Mahkamah Konstitusi dalam memutus pembubaran partai politik bertentangan dengan kemerdekaan berserikat dan berkumpul?. Tujuan penulisan skripsi ini, pertama, untuk mengetahui dari perpektif ilmu hukum mengenai pengajuan pembubaran partai politik oleh pemerintah kepada Mahkamah Konstitusi, kedua, Untuk mengetahui dari perpektif ilmu hukum bahwa kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam memutus pembubaran partai politik tidak bertentangan dengan kemerdekaan berserikat dan berkumpul. Metode penelitian dalam skripsi ini meliputi tipe penelitian, pendekatan masalah, bahan hukum, dan analisis bahan hukum. Tipe penelitian yang digunakan adalah tipe penelitian normatif, pendekatan masalah yang penulis gunakan dalam penulisan skripsi ini adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan historis (historical approach). Bahan hukum yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan non hukum. Sedangkan analisis bahan hukum yang digunakan adalah analisis deskriptif kualitatif. Berdasarkan analisa yang dilakukan, maka dapat diambil kesimpulan, Pasal 68 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003, hal ini disebabkan karena kewenangan pemerintah untuk bertanggungjawab menjalankan UndangUndang Dasar dan segala peraturan perundang-undangan itu dengan sebaikbaiknya sesuai dengan hukum. Pengajuan pembubaran partai politik oleh pemerintah kepada Mahkamah Konstitusi haruslah didasarkan pada reasonable ground (alasan rasional yang masuk akal) sebagaimana ditentukan dalam Pasal 68 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316) dan Pasal 40 ayat (2), Pasal 40 ayat (5), Pasal 48 ayat (2), Pasal 48 ayat (3), dan Pasal 48 ayat (7) UndangUndang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 2 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4801), kedua, Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam memutus pembubaran partai politik tidak bertentangan dengan kemerdekaan berserikat dan berkumpul, karena dalam posisinya sebagai penjaga konstitusi (the guardian of constitution), Mahkamah Konstitusi harus menjaga agar nilai-nilai luhur yang ada didalam konstitusi termasuk didalamnya kebebasan berserikat dan berkumpul yang dalam hal ini dilembagakan dalam bentuk partai politik, tidak mencederai dan/atau bahkan melanggar nilai-nilai demokrasi dan tujuan Negara Indonesia sebagaimana termaktub dalam alenia keempat Pembukaan UUD NRI Tahun 1945. Berkaitan dengan kesimpulan tersebut, maka saran yang dapat penulis ajukan, pertama, diperlukan adanya penyempurnaan regulasi pembubaran partai politik, disamping itu penyempurnaan ini diperlukan karena ketentuan-ketentuan pembubaran partai politik yang ada didalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 masih sangat luas pengertiannya, sehingga cenderung untuk menimbulkan debatebel (mengundang perdebatan) dan munculnya penafsiran-penafsiran terhadap ketentuan-ketentuan tersebut. Namun apabila proses penyempurnaan terhadap kedua Undang-Undang tersebut diatas masih harus melalui jalan panjang dan terjal di DPR, maka Mahkamah Konstitusi dengan berlandaskan pada Pasal 86 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 hendaknya dapat dengan segera menyusun Peraturan Mahkamah Konstitusi yang mengatur lebih lanjut dan menerjemahkan ketentuan yang ada di kedua UndangUndang tadi, kedua, Dalam posisinya sebagai penjaga konstitusi (the guardian of constitution), kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam memutus pembubaran partai politik sangat rentan akan adanya intervensi. Karena tidak dapat dipungkiri, bahwa hakim konstitusi diajukan oleh 3 (tiga) lembaga negara yang berbeda (Presiden, DPR, dan Mahkamah Agung) yang bukan tidak mungkin dimasa yang akan datang apabila Presiden dan DPR dikuasai oleh partai politik dan/atau gabungan partai politik pemenang pemilihan umum yang sama, dikhawatirkan hal ini akan dapat mempengaruhi imparsialitas (ketidakberpihakan) Mahkamah Konstitusi dalam memutus perkara-perkara yang diajukan kepadanya termasuk dalam memutus pembubaran partai politik. Usulan konkret dari penulis, mengenai pemilihan dan pengajuan hakim konstitusi dimasa yang akan datang hendaknya dipilih oleh lembaga yang independen, yang dalam hal ini penulis mengusulkan pemilihan dan pengajuan hakim konstitusi dilakukan oleh Komisi Yudisial.en_US
dc.language.isootheren_US
dc.relation.ispartofseries040710101163;
dc.subjectPEMBUBARAN PARTAI POLITIKen_US
dc.titleANALISIS YURIDIS PELAKSANAAN KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MEMUTUS PEMBUBARAN PARTAI POLITIKen_US
dc.typeOtheren_US


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record