dc.description.abstract | Perkembangan yang begitu cepat di dalam bidang teknologi mendorong
sektor perbankan untuk menggunakan teknologi agar dapat meningkatkan
kinerjanya dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat serta. Penggunaan
teknologi dalam dunia perbankan seringkali disebut sebagai Electronic Banking.
Penggunaan layanan electronic banking bagaikan mata pisau, yang memberikan
keuntungan apabila tepat digunakan dan kerugian apabila tidak tepat
penggunaannya. Munculnya berbagai kerugian yang sering dialami oleh nasabah
menyebabkan pihak bank perlu meregulasi peraturan yang ada sehingga dapat
melindungi nasabah. berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik untuk
menulis skripsi dengan skripsi ”PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP
NASABAH DALAM TRANSAKSI ELECTRONIC BANKING”.
Terdapat tiga rumusan permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini, yaitu:
1. Bagaimanakah penerapan manajemen risiko dalam transaksi Electroni Banking
(E-Banking); 2. Bagaimanakah bentuk perlindungan hukum terhadap nasabah
yang mengalami kegagalan pada saat melakukan transaksi Electronic Banking (EBanking);
3. Bagaimanakah penyelesaian hukum jika terjadi kegagalan pada saat
melakukan transaksi Electronic Banking (E-Banking).
Selanjutnya terdapat tujuan yang ingin dicapai penulis dalam karya ilmiah
yang berupa skripsi ini adalah: 1. Untuk mengetahui dan memahami penerapan
prinsip manajemen risiko dalam transaksi electronic banking (e-banking); 2.
Untuk mengetahui dan memahami bentuk perlindungan hukum terhadap nasabah
yang mengalami kegagalan pada saat melakukan transaksi electronic banking (ebanking);
3. Untuk mengetahui dan memahami penyelesaian hukum jika terjadi
kegagalan pada saat melakukan transaksi dalam electronic banking (e-banking).
Dalam penulisan karya ilmiah bentuk skripsi ini, menggunakan metode
yuridis normatif dan dengan menggunakan 2 (dua) macam pendekatan, yaitu
pendekatan undang-undang (statue approach) dan pendekatan analisis (analytical
approach). Bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, kemudian
menganalisa dengan menggunakan metode interprestasi, agrumentasi hukum, dan Kesimpulannya, Kualifikasi tindak pidana yang didakwakan kepada
Nashiruddin Bin Ahmad selaku Juru Runding GAM adalah sebagai tindak pidana
makar sudah tepat, hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 106 KUHP yakni
makar dengan maksud memisahkan wilayah negara ke bawah pemerintahan asing
dan Pasal 108 KUHP yakni makar dengan melakukan pemberontakan bersenjata.
Sehingga seharusnya surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum terhadap terdakwa
adalah primair Pasal 106 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, subsidair Pasal
108 ayat (1) ke-2 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Sedangkan alasanalasan
Mahkamah Agung bahwa Nashiruddin Bin Ahmad terbukti melakukan
tindak pidana makar adalah (1). Adanya proklamasi Negara Aceh Sumatera atau
proklamasi GAM, (2). Adanya susunan organisasi GAM/Negara Aceh Sumatera,
dan (3). Terpenuhi semua unsur Pasal 106 KUHP. Dan penulis berpendapat bukan
sebagai terorisme karena (1). Elemen penting Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme ialah bahwa tindak pidana
terorisme dikecualikan dari tindak pidana politik, tindak pidana yang berkaitan
dengan tindak pidana politik, tindak pidana dengan motif politik, dan tindak
pidana yang bertujuan politik (Pasal 5), sedangkan GAM adalah organisasi
bertujuan politik yakni untuk memerdekakan wilayah Aceh, sehingga perbuatan
terpidana Nashiruddin Bin Ahmad adalah untuk mencapai tujuan politik tersebut
tidak dapat dinyatakan sebagai perbuatan terorisme. (2). Pada waktu ditangkap
dan diadili Nashiruddin Bin Ahmad berkedudukan sebagai Juru Runding GAM
dan menurut hukum internasional serta Perjanjian Penghentian Permusuhan antara
Pemerintah Indonesia dan GAM, Juru Runding dijamin keamanan dan kebebasan
bergerak serta dijamin dari ancaman penangkapan dan penghukuman dari salah
satu pihak dalam perundingan.
Saran penulis, Pemerintah Indonesia harus mengamandemen UndangUndang
Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
terutama mengenai batasan pengertian terorisme dalam Pasal 5 yang menyatakan
bahwa tindak pidana terorisme dikecualikan dari tindak pidana politik, tindak
pidana yang berkaitan dengan tindak pidana politik, tindak pidana dengan motif
politik, dan tindak pidana yang bertujuan politik karena dalam berbagai peraturan
internasional tindak pidana terorisme selalu berhubungan dengan tujuan politik. | en_US |