dc.description.abstract | Desentralisasi pendidikan dalam rangka perbaikan mutu pendidikan sangat perlu dan mendesak merupakan suatu keniscayaan. Reformasi pendidikan mutlak bagi bangsa ini dan perlu segera diwujudkan, menyusul semakin pentingnya sektor pendidikan dijadikan prioritas utama pembangunan, dimana pembiayaan dan kewenangan menjadi fokus utama dalam reformasi pendidikan tekait dengan
desentralisasi pendidikan di era otonomi daerah saat ini. Hal penting yang perlu diperhatikan dalam hal otonomi pendidikan adalah mewujudkan organisasi
pendidikan di seluruh kabupaten/kota yang lebih demokratis, transparan, efisien, dan akuntabel, serta dapat mendorong partisipasi masyarakat. Dalam konteks otonomisasi pendidikan, pembelajaran yang berlangsung di lembaga-lembaga pendidikan hendaknya sudah menjadikan pemerintah pada posisi sebagai fasilitator dan bukan lagi sebagai pengendali. Sehingga, pemeran utama dalam
proses pembelajaran adalah guru sebagai pengajar dan siswa sebagai yang belajar. Siswa atau peserta didik hendaknya diberi hak untuk mendapatkan pengajaran yang sesuai dengan pilihannya dan diperlakukan sesuai dengan potensi dan prestasinya. Urgensi desentralisasi reformulasi konsep pendidikan dan rekonstruksi fondasi pendidikan nasional, utamanya menyangkut hak-hak pendidikan masyarakat dan nilai-nilai dasar pendidikan saat ini mutlak untuk dipikirkan (rethinking) dan diaktualisasikan kembali. Salah satu konsepnya adalah Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Dalam implementasi kebijakan yang melibatkan struktur organisasi pendidikan utamanya sekolah, dilihat dari dua sudut pandang yaitu pembuat kebijakan (pemerintah) dan sekolah sebagai implementor. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui dan mendeskripsikan pelaksanaan otonomi pendidikan di Kecamatan Arjasa Kabupaten Sumenep. Dengan menggunakan model implementasi kebijkan George c. Edwards III. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi bagi pemerintah (dinas pendidikan) dalam usahanya memperbaiki dan menyempurnakan kebijakan otonomi pendidikan sebagai langkah peningkatan mutu pendidikan.
Implementasi Kebijakan Otonomi Pendidikan di Kecamatan Arjasa Kabupaten Sumenep dengan menggunakan model Edward III tidak dapat
dilaksanakan dengan efektif. Pelaksanaan penerapan menejemen berbasis sekolah (MBS) yang menunjukkan pemberian otonomi pada sekolah hanya dapat dilaksanakan pada tataran penyusunan kurikulum, penyusunan anggaran keuangan dan sarana prasarana. Sedangkan pada tataran pelaksanaan, dan unsur-unsur lain yang menjadi bagian otonomi sekolah itu sendiri tidak dapat dilaksanakan secara optimal. Menurut model Edward III, penyebab kurang optimalnya implementasi
kebijakan yang tidak terlaksana dengan baik, dukungan sumberdaya yang terbatas, sikap dan kecenderungan pelaksana sekolah yang kurang positif serta struktur birokrasi yang kurang efektif.
Penyebab kurang optimalnya komunikasi kebijakan yaitu: pertama, kurang ditrasmisikannya secara menyeluruh kebijakan otonomi pendidikan (penerapan menejemen berbasis sekolah) kepada level tenaga pendidik, tenaga kependidikan, dan masyarakat. Kedua, terjadinya distorsi dalam implementasi kebijakan otonomi pendidikan, ditandai dengan tidak konsistennya tenaga pendidik sebagai
pelaksana kebijakan dengan perintah, pedoman atau juklak yang dibuat oleh pemerintah pusat. Ketiga, kurang disiplin, dan kurangnya tanggungjawab
pelaksana sekolah dalam melaksanakan kebijakan otonomi pendidikan (penerapan menejemen berbasis sekolah). Indikasi dukungan sumberdaya yang terbatas, yaitu: pertama, jumlah staf dan pembagian tugas dan tanggungjawab di tingkat sekolah dasar dan menengah jelas, tetapi pengetahuan atau wawasan staf pelaksana sekolah sebagai polcy implementor tentang apa dan bagaimana kebijakan diimplementasikan tidak
dipahami secara bersama atau merata. Kedua, kurang optimalnya penyerapan informasi-informasi karena dalam sosialisai kebijakan kurang optimal dan terkesan dilaksanakan sebagai rutinitas saja. Ketiga, terbatasnya sarana-prasarana gedung atau ruang kelas dan laboratorium fasilitas penunjang lain di sekolah, serta terbatasnya anggaran dan kurangnya partisipasi masyarakat sebagai wujud peran serta dari masyarakat sekitar dalam pengelolaan pendidikan. Keempat, sekolah
tidak cukup leluasa dalam kebijakan perencanaan dan pengelolaan anggaran, maupun perencanaan sarana-prasarana. Kemudian, adanya sikap dan kecenderungan dari tenaga pendidik yang kurang konsisten yaitu: pertama, dalam proses kegiatan belajar mengajar masih lebih senang memakai metode lama (ceramah) atau pola konvensional, kedua, adanya kecenderungan tenaga pendidik tidak taat atau sering meninggalkan kegiatan belajar-mengajar di sekolah. | en_US |