Show simple item record

dc.contributor.authorAHMAD MUNIB
dc.date.accessioned2014-01-20T23:50:43Z
dc.date.available2014-01-20T23:50:43Z
dc.date.issued2014-01-20
dc.identifier.nimNIM020710101183
dc.identifier.urihttp://repository.unej.ac.id/handle/123456789/18804
dc.description.abstractDalam ketentuan pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan di mungkinkan bagi seorang laki-laki untuk beristri lebih dari satu orang atau di sebut juga dengan poligami, sebagai salah satu bentuk manifestasi pelaksanaan ketentuan hukum perkawinan Islam. Dalam ketentuan pasal 4 juga disebutkan bahwa : apabila seorang suami bermaksud untuk beristri lebih dari seorang, maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis ke pengadilan Agama. Terkait dengan makna perkawinan dan di perbolehkannya perkawinan poligami di Indonesia. Maka permasalahan yang dapat penulis kemukakan adalah tentang bagaimanakah keberadaan harta bersama dengan adanya perkawinan poligami menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, serta, bagaimanakah pembagian harta bersama dalam hal terjadi putusnya perkawinan poligami menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Karena sesuai dengan fakta yang saya teliti terdapat permasalahan ketika dalam perkawinan itu seorang suami tidak dapat menerapkan prinsip adil sehingga timbul perselisihan-perselisihan dan salah satunya adalah mengenai perebutan harta bersama dari masing-masing istri tersebut, meskipun dalam permasalahan itu telah adanya suatu perjanjian perkawinan. Tujuan penulisan skripsi ini secara khusus adalah Untuk mengetahui dan mengkaji bagaimanakah keberadaan harta bersama dengan adanya perkawinan poligami menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, serta, bagaimanakah pembagian harta bersama dalam hal terjadi putusnya perkawinan poligami menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Metode penulisan yang digunakan dalam skripsi ini adalah pendekatan masalah secara yuridis normatif. Sumber bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer seperti Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan. Bahan hukum sekunder yang diperoleh dari mempelajari dan membaca buku-buku maupun literatur serta dokumentasi dan keterangan-keterangan yang di peroleh dari instansi terkait dengan pembahasan skripsi ini. Sedangkan metode pengambilan bahan hukum adalah dengan menggunakan studi literatur dan studi dokumentasi. Analisa bahan hukum yang digunakan dalam mengambil kesimpulan adalah dengan menggunakan metode deduktif yaitu yaitu proses penarikan kesimpulan yang dilakukan dari pembahasan yang mempunyai sifat umum menjadi pembahasan yang bersifat khusus. Setelah diadakan pembahasan dan pennelaahan terhadap masalah tersebut maka penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa kedudukan harta bersama dengan adanya perkawinan poligami adalah bahwa harta bersama dari perkawinan tersebut masing-masing terpisah dan berdiri sendiri, pemilikan harta bersama dari perkawinan seorang suami yang memiliki istri lebih dari seorang, di hitung pada saat berlangsungnya akad perkawinan yang kedua, ketiga, dan yang ke empat. Pembagian harta bersama dalam perkawinan poligami dalam hal terjadi putusnya perkawinan, di hitung sejak akad perkawinan di langsungkan dengan istri kedua, ketiga, dan ke empat. Dalam hal ini istri kedua dan seterusnya tidak berhak menuntut harta bersama yang di peroleh dengan istri yang terdahulu, sebab keberadaan harta bersama tersebut terhitung sejak adanya akad perkawinan dengan istri yang selanjutnya. Adapun saran yang dapat penulis kemukakan adalah bahwa Perkawinan adalah merupakan upaya yang positif dalam rangka membentuk suatu keluarga yang bahagia, sakinah, mawaddah dan rahmah di hadapan Allah SWT. Perkawinan poligami menuntut seorang suami untuk dapat berlaku adil bagi istriistri dan anak-anaknya, dengan adilnya suami niscaya kelak tidak terjadi sengketasengketa terhadap istri-istri dan anak-anaknya, baik itu mengenai kedudukan harta bersama mereka maupun yang lain-lainnya. Untuk mencegah terjadinya perselisihan mengenai pembagian harta bersama, maka sebaiknya perlu di adakannya suatu perjanjian perkawinan baik antara suami dengan istri pertama, kedua, ketiga, maupun ke empat yang menyangkut pembagian harta bersama mereka dalam hal terjadi putusnya perkawinan, tetapi perjanjian perkawinan tersebut tidak boleh merugikan masingmasing pihak yang membuat perjanjian tersebut. Oleh karena itu hendaklah masing-masing pihak tersebut memahami dengan sebenar-benarnya hak dan kewajibannya, jika masih terdapat perselisihan maka penyelesaian melalui Pengadilan Agama adalah merupakan solusi terbaik dengan adanya suatu keputusan hakim.en_US
dc.language.isootheren_US
dc.relation.ispartofseries020710101183;
dc.subjectHARTA BERSAMA , POLIGAMIen_US
dc.titleKEDUDUKAN HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN POLIGAMI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINANen_US
dc.typeOtheren_US


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record