Show simple item record

dc.contributor.authorNASRUL ABYAD
dc.date.accessioned2014-01-19T01:48:04Z
dc.date.available2014-01-19T01:48:04Z
dc.date.issued2014-01-19
dc.identifier.nimNIM030710101214
dc.identifier.urihttp://repository.unej.ac.id/handle/123456789/17185
dc.description.abstractKehidupan yang tenteram dengan perasaan cinta kasih, saling pengertian antara suami isteri, karena mereka menyadari bahwa masing-masing sebagai pakaian bagi pasangannya, itulah yang sesungguhnya merupakan tujuan utama perkawinan. Suasana kehidupan keluarga yang demikian, dapat diwujudkan dengan mudah apabila perkawinan dibangun di atas dasar yang kokoh, antara lain antara suami isteri ada dalam sekufu ( kafa’ah ). Oleh karena itu setiap orang yang ingin membina rumah tangga yang Islami, maka Islam telah memberikan kriteria tentang calon pasangan yang ideal : Harus Kafa’ah (menurut Islam), dan Shalihah. Menurut Islam, Kafa’ah atau kesamaan, dalam perkawinan, dipandang sangat penting karena dengan adanya kesamaan antara kedua suami istri itu, maka usaha untuk mendirikan dan membina rumah tangga yang Islami akan terwujud. Tetapi kafa’ah menurut Islam hanya diukur dengan kualitas iman dan taqwa serta ahlak seseorang , bukan status sosial, keturunan dan lain-lainnya. Maka berdasarkan pasal 8 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan pasal 39 sampai pasal 44 Kompilasi Hukum Islam, tidak dijelaskan secara tegas bahwa cacat fisik merupakan halangan perkawinan. Sehingga bagi orang Islam harus kembali pada Kesesuaian hukum Islam sesuai pasal 2 ayat (1). Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. seseorang yang mengalami cacat fisik dapat melangsungkan perkawinan, karena tidak ada halangan syar’i . Sedang hukum Islam dalam melangsungkan perkawinan wajib ada kesetaraan bidang akhlak, bukan bidang lainnya. Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk membahas persoalan tersebut dalam judul “ CACAT FISIK SESEORANG BUKAN MERUPAKAN HALANGAN UNTUK MELANGSUNGKAN PERKAWINAN (Studi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No.295 K/Ag/2005.)”. Permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah apakah cacat fisik seseorang termasuk salah satu halangan perkawinan, apa pertimbangan hukum hakim Pengadilan Agama Lumajang menolak permohonan perkawinan xii dalam Perkara No.8/Pdt.P/2005/PA.Lmj dan apa pertimbangan hukum hakim Mahkamah Agung dalam putusan Perkara No.295 K/Ag/2005. Tujuan umum penulisan skripsi ini salah satunya untuk memenuhi dan melengkapi tugas serta syarat-syarat yang diperlukan untuk meraih gelar Sarjana Hukum di Universitas Jember. Tujuan khususnya untuk menjawab rumusan masalah yang telah ditetapkan. Penulis skripsi ini menggunakan metode dengan tipe yuridis normatif. Dengan pendekatan masalah yaitu pendekatan Undang-Undang (statute approach) . Sumber bahan hukum primer dan sumber bahan hukum sekunder. Analisis bahan hukum dengan cara mengindentifikasi fakta hukum untuk menetapkan isu hukum yang hendak dipecahkan, yang selanjutnya menarik kesimpulan dalam bentuk argumentasi. Hasil yang diperoleh dari pembahasan adalah bahwa cacat fisik yang dialami oleh calon suami pemohon bukan merupakan halangan untuk melangsungkan perkawinan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 8 Undang- Undang Perkawinan jo. Pasal 39 sampai pasal 44 Kompilasi Hukum Islam. Dasar pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Lumajang dalam penetapan berdasarkan bahwa cacat fisik yang dialami oleh calon suami tersebut dipandang tidak sekufu (setara) dengan pemohon, namum terdapat perbedaan opini antara Ketua Majelis dengan Hakim anggota. Dasar pertimbangan hakim Mahkamah Agung bahwa Pengadilan Agama Lumajang telah salah dalam menerapkan hukum, dan telah keliru dalam memberikan pertimbangan terutama yang menyangkut cacat fisik yang dialami oleh calon suami Pemohon Kasasi. Disamping itu antara pemohon kasasi dengan calon suaminya tidak ada halangan syar’i untuk menikah. Saran yang diberikan oleh penulis seorang wanita yang akan melaksanakan perkawinan tanpa persetujuan orang tua (wali nikah) harus menyadari betul akan akibat yang dilaksanakannya setelah ia melaksanakan perkawinan, dan Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara terutama tentang perkara permohonan penetapan wali adhal, hendaknya sangat memperhatikan kepentingan calon suami isteri sebagai pemohon, sebab yang akan menjalani kehidupan rumah tangga tersebut adalah calon suami isteri bukan wali nikahnya.en_US
dc.language.isootheren_US
dc.relation.ispartofseries030710101214;
dc.subjectCACAT FISIKen_US
dc.titleCACAT FISIK SESEORANG BUKAN MERUPAKAN HALANGAN UNTUK MELANGSUNGKAN PERKAWINAN (Studi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No.295 K/Ag/2005.)en_US
dc.typeOtheren_US


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record