dc.description.abstract | Kehidupan yang tenteram dengan perasaan cinta kasih, saling pengertian
antara suami isteri, karena mereka menyadari bahwa masing-masing sebagai
pakaian bagi pasangannya, itulah yang sesungguhnya merupakan tujuan utama
perkawinan. Suasana kehidupan keluarga yang demikian, dapat diwujudkan
dengan mudah apabila perkawinan dibangun di atas dasar yang kokoh, antara lain
antara suami isteri ada dalam sekufu (kafa’ah). Oleh karena itu setiap orang yang
ingin membina rumah tangga yang Islami, maka Islam telah memberikan kriteria
tentang calon pasangan yang ideal : Harus Kafa’ah (menurut Islam), dan Shalihah.
Menurut Islam, Kafa’ah atau kesamaan, dalam perkawinan, dipandang sangat
penting karena dengan adanya kesamaan antara kedua suami istri itu, maka usaha
untuk mendirikan dan membina rumah tangga yang Islami akan terwujud. Tetapi
kafa’ah menurut Islam hanya diukur dengan kualitas iman dan taqwa serta ahlak
seseorang, bukan status sosial, keturunan dan lain-lainnya. Maka berdasarkan
pasal 8 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan pasal 39 sampai pasal 44
Kompilasi Hukum Islam, tidak dijelaskan secara tegas bahwa cacat fisik
merupakan halangan perkawinan. Sehingga bagi orang Islam harus kembali pada
Kesesuaian hukum Islam sesuai pasal 2 ayat (1). Perkawinan adalah sah apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
seseorang yang mengalami cacat fisik dapat melangsungkan perkawinan, karena
tidak ada halangan syar’i. Sedang hukum Islam dalam melangsungkan
perkawinan wajib ada kesetaraan bidang akhlak, bukan bidang lainnya.
Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk membahas
persoalan tersebut dalam judul “CACAT FISIK SESEORANG BUKAN
MERUPAKAN HALANGAN UNTUK MELANGSUNGKAN
PERKAWINAN (Studi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
No.295 K/Ag/2005.)”.
Permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah apakah cacat
fisik seseorang termasuk salah satu halangan perkawinan, apa pertimbangan
hukum hakim Pengadilan Agama Lumajang menolak permohonan perkawinan
xii
dalam Perkara No.8/Pdt.P/2005/PA.Lmj dan apa pertimbangan hukum hakim
Mahkamah Agung dalam putusan Perkara No.295 K/Ag/2005.
Tujuan umum penulisan skripsi ini salah satunya untuk memenuhi dan
melengkapi tugas serta syarat-syarat yang diperlukan untuk meraih gelar Sarjana
Hukum di Universitas Jember. Tujuan khususnya untuk menjawab rumusan
masalah yang telah ditetapkan.
Penulis skripsi ini menggunakan metode dengan tipe yuridis normatif.
Dengan pendekatan masalah yaitu pendekatan Undang-Undang (statute
approach). Sumber bahan hukum primer dan sumber bahan hukum sekunder.
Analisis bahan hukum dengan cara mengindentifikasi fakta hukum untuk
menetapkan isu hukum yang hendak dipecahkan, yang selanjutnya menarik
kesimpulan dalam bentuk argumentasi.
Hasil yang diperoleh dari pembahasan adalah bahwa cacat fisik yang
dialami oleh calon suami pemohon bukan merupakan halangan untuk
melangsungkan perkawinan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 8 UndangUndang
Perkawinan
jo.
Pasal
39
sampai
pasal
44
Kompilasi
Hukum
Islam.
Dasar
pertimbangan
Hakim
Pengadilan
Agama
Lumajang
dalam penetapan berdasarkan
bahwa cacat fisik yang dialami oleh calon suami tersebut dipandang tidak sekufu
(setara) dengan pemohon, namum terdapat perbedaan opini antara Ketua Majelis
dengan Hakim anggota. Dasar pertimbangan hakim Mahkamah Agung bahwa
Pengadilan Agama Lumajang telah salah dalam menerapkan hukum, dan telah
keliru dalam memberikan pertimbangan terutama yang menyangkut cacat fisik
yang dialami oleh calon suami Pemohon Kasasi. Disamping itu antara pemohon
kasasi dengan calon suaminya tidak ada halangan syar’i untuk menikah.
Saran yang diberikan oleh penulis seorang wanita yang akan
melaksanakan perkawinan tanpa persetujuan orang tua (wali nikah) harus
menyadari betul akan akibat yang dilaksanakannya setelah ia melaksanakan
perkawinan, dan Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara terutama tentang
perkara permohonan penetapan wali adhal, hendaknya sangat memperhatikan
kepentingan calon suami isteri sebagai pemohon, sebab yang akan menjalani
kehidupan rumah tangga tersebut adalah calon suami isteri bukan wali nikahnya. | en_US |