Konflik Agraria di Desa Pakel Kecamatan Licin Kabupaten Banyuwangi 1999-2023
Abstract
Konflik agraria merupakan isu global yang juga kerap terjadi di Indonesia.
Tanah memiliki nilai strategis karena berperan penting secara ekonomi dan sosial,
sehingga sering menjadi sumber sengketa. Dalam lima tahun terakhir, terdapat
2.288 konflik agraria baru di Indonesia, dengan Jawa Timur menduduki peringkat
ketiga sebagai wilayah dengan kasus tertinggi, termasuk 13 konflik baru
sepanjang tahun 2022. Kabupaten Banyuwangi, dengan kekayaan sumber daya
alam dan lokasi geografis strategis, menjadi salah satu wilayah rawan konflik
agraria.
Sejarah konflik agraria di Banyuwangi dapat ditelusuri hingga era kolonial
Belanda. Kolonialisme membawa perubahan besar di Blambangan, termasuk
eksploitasi tanah untuk perkebunan. Sistem tanam paksa menyebabkan
penderitaan rakyat, hingga akhirnya digantikan oleh Undang-Undang Agraria
tahun 1870, yang membuka peluang bagi investor swasta untuk menguasai tanah
di Jawa. Salah satu perusahaan yang muncul adalah N.V. Cultuur Maatschappij
Pacouda (Perkebunan Pakuda), yang beroperasi di Desa Sumberejo Pakel. Konflik
terjadi ketika perusahaan mengajukan pembukaan hutan yang telah dikelola warga
setempat.
Pada 1929, warga Pakel mendapat “Soerat Idin Memboeka Tanah” dari
Bupati Banyuwangi R.A.A.M. Notohadisuryo. Namun, izin ini ditentang oleh
Dinas Kehutanan Hindia Belanda, sehingga memicu konflik berkepanjangan.
Situasi semakin rumit pada 1960-an dengan masuknya PT. Bumi Sari, yang
menawarkan kerjasama agraria kepada warga. Meskipun demikian, bagi hasil
yang dijanjikan tidak terealisasi, dan keberadaan PT. Bumi Sari memicu
kecurigaan karena sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) baru diterbitkan pada 1985,
tanpa mencantumkan wilayah Pakel.Selama rezim Orde Baru, warga Pakel tidak berani melawan secara terangterangan, meskipun perusahaan terus memperluas wilayahnya. Namun, setelah
reformasi, warga mulai menuntut hak mereka atas tanah berdasarkan "Akta 1929."
Konflik ini berujung pada bentrokan dengan aparat, yang mengakibatkan
penangkapan, kekerasan fisik, dan ketidakamanan sosial bagi warga. Hingga kini,
sengketa tanah di Desa Pakel masih mencerminkan kompleksitas masalah agraria
di Indonesia.
Metode penelitian merupakan tahap yang diambil dalam mengidentifikasi
sebuah permasalahan. Penelitian ini menggunakan metode sejarah. Metode
sejarah merupakan proses penelusuran dan pertimbangan yang jeli terhadap
dokumen dari masa lampau, sehingga mengharuskan penulis untuk
mengembangkan tulisan secara deskriptif, seorang sejarawan harus menilai fakta
yang telah dihimpun dengan analisis kausal dan respins terhadap pertanyaan yang
ada.
Hasil penelitian ini menunjukkan konflik agraria di Desa Pakel berawal dari
perjuangan warga yang telah mengelola tanah sejak zaman kolonial Belanda. Pada
tahun 1929, melalui "Akta 1929," warga memperoleh hak untuk membuka lahan
seluas 3.000 hektar. Namun, setelah kemerdekaan, klaim atas tanah ini
diperebutkan oleh PT. Bumi Sari dan Perhutani meskipun ada bukti hukum yang
menunjukkan tanah tersebut bukan bagian dari HGU perusahaan. Konflik yang
berlangsung lebih dari seratus tahun ini mencerminkan keteguhan warga Pakel
dalam mempertahankan hak atas tanah mereka, meskipun dihadapkan pada
intimidasi, kekerasan, dan klaim sepihak dari berbagai pihak. Upaya penyelesaian
melalui Reforma Agraria dan program TORA belum berhasil, dan PT. Bumi Sari
tetap menguasai tanah tersebut meski bukti hukum mendukung klaim warga.
Dampak sosialnya terasa signifikan, terutama bagi perempuan yang harus
menggantikan peran pria dalam keluarga, serta dampak ekonomi yang merugikan
warga yang kehilangan sumber penghidupan. Konflik ini juga berdampak pada
lingkungan, dengan kerusakan ekosistem akibat tumpang tindih klaim tanah yang
mengancam keberlanjutan sumber daya alam yang sebelumnya dikelola oleh
warga secara berkelanjutan.