Kepastian Hukum Perkawinan Beda Agama di Indonesia Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 24/PUU-XX/2022
Abstract
Perkawinan beda agama merupakan realitas sosiologis yang tidak terbendung dalam masyarakat Indonesia yang heterogen menempati ruang abu-abu dalam domain yuridis sehingga menimbulkan polemik tentang status hukumnya. Hukum positif memberikan pengaturan yang tidak seragam terhadap perkawinan beda agama yang mana di satu sisi Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang diamandemen dengan Undang-Undang No. 19 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memposisikan hukum agama dan kepercayaan sebagai faktor determinan keabsahan perkawinan dan dalam sudut padang 6 (enam) hukum agama di Indonesia umumnya tidak menghendaki perkawinan antara pasangan beda agama. Keberalakuan Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang diamandemen dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan di lain sisi memberikan peluang dengan melegalisasi perkawinan beda agama secara administratif melalui penetapan pengadilan dan pencatatan di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. Eksistensi hukum agama dan kepercayaan sebagai faktor determinan keabsahan perkawinan juga dipandang tidak sejalan dengan prinsip perkawinan sebagai hak asasi manusia yang diatur dalam norma internasional yaitu Universal Declaration of Human Rights melalui Pasal 16 ayat (1) menyatakan hak untuk melangsungkan perkawinan dan membentuk keluarga antara seorang pria dan wanita yang sudah dewasa tidak dibatasi oleh status kewarganegaraan, kebangsaan, maupun keagaman. Ambiguitas norma pada hukum positif dalam memandang perkawinan beda agama mengindikasikan adanya ketidakpastian hukum yang berdampak pada timbulnya ketidakpastian perlindungan terhadap hak konstitusional warga negara di bidang perkawinan sebagaimana dibuktikan dalam permohonan Perkara Nomor 24/PUU-XX/2022 tentang Permohonan Uji Materiil Pasal 2 ayat (1). (2), dan 8 huruf (f) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang diajukan oleh E. Ramos Petege.
Berdasarkan uraian diatas, dapat dirumusan malasah skirpsi ini, yaitu: pertama, apa ratio decidendi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 24/PUU-XX/2022. Kedua, apa akibat hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 24/PUU-XX/2022 terhadap status hukum perkawinan beda agama di Indonesia. Tujuan penelitian skripsi ini, yaitu: pertama untuk memahami dan menganalisis ratio decidendi Mahkamah Konstitusi Nomor 24/PUU-XX/2022. Kedua, untuk memahami dan menganalisis akibat hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 24/PUU-XX/2022 terhadap status hukum perkawinan beda agama di Indonesia. Metode yang diakualisasikan dalam penelitian skripsi ini adalah yuridis-normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan dan konseptual. Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian skripsi ini adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Kajian pustaka dalam skripsi memuat uraian sistematik tentang asas, teori, prinsip, dan dasar hukum yang memiliki relevansi dengan pembahasan yang sedang diketengahkan, meliputi perkawinan, perkawinan beda agama, prinsip kepastian hukum, akibat hukum, dan raio decidendi.
Hasil yang diperoleh dari penelitian skripsi ini, yaitu: pertama, Mahkamah Kosntitusi dalam upaya penemuan hukum Putusan Nomor 24/PUU-XX/2022 menggunakan metode penafsiran atau interpretasi secara sistematis dengan mengaitkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan (2) dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dengan Pasal 35 huruf (a) Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan berdasarkan dan Pasal 28B ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Penggunan metode penafsiran hukum sistematis oleh majelis hakim konstitusi menjadikan adanya harmonisasi dalam bunyi ketentuan antara undang-undang yang satu dengan undang-undang yang lain maupun dengan konstitusi, hal tersebut selaras dengan nilai-nilai dari prinsip kepastian hukum yang dimaknai sebagai ketersediaan suatu aturan yang diundangkan mengatur secara jelas, artinya suatu aturan tidak menimbulkan keraguan (penafsiran yang tidak seragam/multi interpretasi), kejelasan disini juga berarti hukum tersebut tidak menimbulkan konflik dengan hukum lain. Kedua, status perkawinan beda agama pasca Putusan Mahkamah Kosntitusi Nomor 24/PUU-XX/2022 ditentukan dengan berdasarkan pada hasil penafsiran institusi keagamaan yang diberikan otoritas sebagai penafsir ajaran hukum agama pasangan beda agama. Ketentuan pencatatan perkawinan Pasal 35 huruf (a) Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan tidak bermakna sebagai bentuk legalisasi negara terhadap perkawinan beda agama, pencatatan tersebut merupakan kewajiban administratif para pihak dalam perkawinan, dengan kapasitas negara dengan menyediakan prosedur pencatatan perkawinan bagi pasangan beda agama sepanjang institusi keagamaan menentukan keabsahannya. Konsepsi hak asasi perkawinan menurut standar norma hukum HAM di Indonesia bersifat relativisme kultural (cultural relativism) sehingga dalam pelaksanaannya demi menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan warga negara yang lain serta memenuhi tuntutan yang adil berdasarkan pada pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis setiap warga negara dalam melaksanakan hak dan kebebasannya berkewajiban tunduk kepada pembatasan yang diatur oleh peraturan perundang-undangan maupun konstitusi.
Collections
- UT-Faculty of Law [6385]