Pertimbangan Hakim Pada Kasus Human Trafficking Bagi Pekerja Migran di Indonesia (Studi Putusan Nomor: 312/Pid.Sus/2020/PN. Mtr)
Abstract
Kasus Tindak Pidana Perdaganga Orang (TPPO) pada saat ini masih
ring terjadi, berdasarkan data SIMFONI PPA bahwa dari tahun 2020 sampai
2022 sebanyak 1.581 korban TPPO dan sebanyak 98% korban TPPO terjadi
pada pekerja migran. Hal ini dapat dilihat pada kasus pada Putusan Nomor
312/Pid.Sus/2020/PN Mtr. Adapun tindak pidana yang dilakukan oleh para
dakwa, pada pokok perkaranya, bahwa terdakwa terbukti secara sah dan
rsalah melakukan tindak pidana orang perseorangan dilarang melaksanakan
nempatan Pekerja Migran Indonesia. Para terdakwa memberangkatakan korban
. NZ untuk menjadi pekerja migran, akan tetapi korban ketika sudah sampai
mpat bekerja tidak mendapatkan gaji dan korban mendapatkan kekerasan
fisik, korban juga dipindahtempatkan di beberapa negara yang tentunya tidak
suai dengan kontrak kerja. Berdasarkan dari uraian latar belakang tersebut
maka terdapat dua rumusan masalah, pertama apakah pertimbangan hakim dalam
menjatuhkan putusan terhadap para terdakwa berdasarkan Pasal 81 UndangUndang
Nomor 18 Tahun 2017 Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP telah sesuai
ngan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan? kedua Apakah Putusan
Nomor 312/Pid.Sus/2020/PN Mtr telah memenuhi hak-hak korban human
ficking berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang
rlindungan Saksi dan Korban ?.
Tujuan dari penelitian yang akan dicapai yaitu, pertama untuk
menganalisis pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap para
dakwa berdasarkan Pasal 81 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 Jo Pasal
yat (1) ke-1 KUHP telah sesuai dengan fakta-fakta yang terungkap dalam
rsidangan, kedua mengetahui apakah putusan Nomor 312/Pid.Sus/2020/PN Mtr
h memenuhi hak-hak korban human trafficking berdasarkan Undang-undang
Nomor 31 tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Jenis penelitian
g digunakan yaitu penelitian yuridis normatif, yang artinya penelitian ini
okus pada standar hukum yang telah ditetapkan oleh sistem hukum suatu
gara atau pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur terkait
ndak pidana perdagangan orang. Pendekatan ini menggunakan pendekatan
rundang-undangan (Statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual
approach). Sumber bahan hukum pada penelitian ini yang digunakan yaitu bahan
hukum primer dan sekunder. Hasil penelitian ini adalah, berdasarkan pada fakta-fakta persidangan yang
diperoleh maka perbuatan yang dilakukan oleh pelaku dapat dikategorikan sebagai
perbuatan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Oleh karena itu berdasarkan pada
fakta-fakta persidangan yang diperoleh maka perbuatan yang dilakukan oleh
pelaku dapat dikategorikan sebagai perbuatan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Sehingga hakim dalam menjatuhkan putusan berdasarkan dakwaan Pasal 81 UU
PPMI Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP tidak sesuai. Maka dakwaan yang
seharusnya dijatuhkan kepada para terdakwa adalah dakwaan kesatu yang
menggunakan UU TPPO yaitu Pasal 10 Jo Pasal 4 UU TPPO Jo Pasal 55 ayat
(1) ke-1 KUHP sebab lebih komprehensif mencakup rangkaian perbuatan para
terdakwa mulai dari awal perekrutran sampai korban dieksploitasi, yang
mencerminkan kompleksitas tindak pidana perdagangan orang.
Selain itu, hakim dalam memutuskan dakwaan tidak terikat pada asas lex
specialis derogat legi generali atau dengan kata lain hakim tidak sesuai dengan
asas lex specialis derogat legi generali. Bahwa pada kasus ini jaksa penutut
umum telah membuat dakwaan alternatif yang fokus pada Undang-Undang
Nomor 21 tahun 2007 tentang TPPO dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017
tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia. Akan tetapi hakim memutuskan
dakwaan yang ketiga dengan menggunakan Undang-Undang Nomor 18 Tahun
2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia. Mengingat bahwa UU
PPMI hanya bersifat administratif dibandingkan dengan UU TPPO yang secara
penjatuhan pidana terhadap pelaku TPPO lebih tegas, sehingga pelaku TPPO akan
merasa jera. Kemudian, dakwaan ketiga yang dijatuhkan oleh hakim sangat tidak
mencerminkan keadaan korban. Bahwa dalam amar putusan tersebut hanya
berfokus pada pelaku dan tidak terdapat tindak lanjut dalam pemenuhan hak-hak
korban dengan berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban. Seharusnya, hakim bisa mempertimbangkan
dengan melihat dari pihak korban yang telah mengalami kerugian baik secara
materil maupun imateril.
Collections
- UT-Faculty of Law [6325]