Show simple item record

dc.contributor.authorDARMADI
dc.date.accessioned2013-12-24T08:03:17Z
dc.date.available2013-12-24T08:03:17Z
dc.date.issued2013-12-24
dc.identifier.urihttp://repository.unej.ac.id/handle/123456789/12625
dc.description.abstractPerjanjian pembiayaan konsumen mula-mula timbul dalam praktik untuk menampung berbagai persoalan bagaimana cara memberikkan jalan keluar apabila pihak penjual menghadapi banyak permintaan tetapi para calon pembeli tidak mampu membayar secara tunai. Dan agar dapat memperlancar proses jual beli tersebut, maka ditemukan cara jual beli mengangsur secara periodic setiap bulan. Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 34/Kep/II/1980 tentang Sewa-Beli, Dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, Buku III KUH Perdata adalah produk hukum Pemerintah sebagai dasar hukum yang dapat dipakai sebagai landasan untuk transaksi pada pembiayaan konsumen. Hubungan antar pihak didasarkan pada perjanjian baku yang dibuat secara sepihak oleh kreditur. Keabsahan perjanjian baku ini tidak menjadi permasalahan, namun yang perlu dipermasalahkan adalah prinsip pengambilan benda jaminan oleh kreditur melalui juru tagih dan pengambilan benda jaminan pembiayaan secara sepihak serta tindakan juru tagih dalam mengambil benda jaminan pembiayaan konsumen apa dapat dikatagorikan sebagai perbuatan yang melawan hukum. Tujuan penelitian ini, (1) untuk mengkaji dan menganalisis prinsip pengambilan benda jaminan pada perjanjian pembiayaan konsumen oleh kreditur melalui juru tagih jika debitur wanprestasi, (2) untuk mengkaji dan menganalisis pengambilan benda jaminan secara sepihak dan (3) untuk mengkaji dan menganalisis tindakan juru tagih dalam mengambil benda jaminan pembiayaan konsumen itu apa dapat digolongkan sebagai tindakan yang melawan hukum. Metodologi penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konseptual (conceptual approach), dan pendekatan asas hukum. Berdasarkan hasil kajian terhadap bahan hukum yang ada pada penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut: (1) juru tagih harus mendapatkan surat tugas secara formal dari kreditur atau koordinator juru tagih dan tidak boleh bertentangan dengan hukum yang berlaku, (2) pengambilan benda jaminan pada perjanjian pembiayaan konsumen secara sepihak tidak dibenarkan jika tata cara, prosedur, dan mekanismenya tidak dilalui dengan benar dan (3) tindakan yang dilakukan x secara prosedural dan sopan santun sesuai teori perlindungan hukum, maka juru tagih tersebut tidak bisa dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum. Sebaliknya juru tagih dalam melaksanakan tugasnya tidak dibekali dengan surat tugas atau surat kuasa, tidak sesuai dengan prosedur dan mekanisme yang berlaku, maka tindakan juru tagih itu termasuk perbuatan yang melawan hukum. Sebagai saran dari tesis ini, yang pertama bahwa pemerintah hendaknya dapat segera menciptakan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang juru tagih, agar tercipta suatu kepastian hukum, kedua bahwa meskipun perjanjian yang dibuat adalah perjanjian baku, seyogyanya pihak kreditur tidak hanya mencari keuntungan saja, tetapi juga harus memperhatikan keberadaan debitur dan juga harus ikut bertanggung jawab atas tindakan juru tagih yang bertentangan dengan hukum, dan ketiga pihak debitur hendaknya dapat menunjukkan rasa tanggung jawab atas hutang yang diperoleh dari kreditur karena benda jaminan masih berada ditangannya untuk dipakai dan dinikmati selama hak kepemilikan belum berpindah kepada debitur..en_US
dc.language.isootheren_US
dc.relation.ispartofseriesO90720101018;
dc.subjectPENGAMBILAN BENDA JAMINAN PADA PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN MELALUI JURU TAGIH AKIBAT DEBITUR WANPRESTASIen_US
dc.titlePRINSIP PENGAMBILAN BENDA JAMINAN PADA PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN MELALUI JURU TAGIH AKIBAT DEBITUR WANPRESTASIen_US
dc.typeOtheren_US


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record