Tanggung Jawab Notaris Terhadap Pembuatan Akta Otentik Melalui Sistem Elektronik
Abstract
Penjelasan Pasal 15 ayat (3) memberikan arahan terkait bentuk kewenangan lain seorang
Notaris salah satunya adalah sertifikasi transaksi dengan konsep pembuatan akta otentik
melalui sistem elektronik. Namun hal ini bertentangan dengan ketentuan Pasal 16 ayat (1)
huruf m UUJN yang mengatur bahwa Notaris wajib hadir secara fisik di hadapan pihak-pihak
tertentu untuk membacakan dan menandatangani akta. Kehadiran fisik ini merupakan syarat
formil yang harus dipenuhi agar suatu akta otentik dianggap sah dan ini sesuai dengan
ketentuan Pasal 1868 KUH Perdata mengenai definisi akta otentik. Oleh karena itu terdapat
konflik norma antara Pasal 15 ayat (3) dan Pasal 16 ayat (1) huruf m UUJN. Hal ini perlu
diteliti lebih mendalam terkait keabsahan akta otentik yang dibuat melalui sistem elektronik
oleh Notaris tanpa kehadiran fisik para pihak. Fokus tesis ini adalah menganalisis tanggung
jawab Notaris dalam pembuatan akta otentik secara elektronik yang ditinjau dari segi
keabsahan akta, bentuk tanggung jawab Notaris terkait akta otentik yang dibuat melalui
sistem elektronik, dan konsep kedepan terhadap pembuatan akta otentik yang dibuat melalui
sistem elektronik.
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah metode yuridis
normatif atau hukum normatif. Penelitian ini melibatkan beberapa pendekatan, yaitu
pendekatan undang-undangan (statute approach), pendekatan konseptual (conceptual
approach), dan pendekatan perbandingan (comparative approach). Sumber utama penelitian
ini terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan non-hukum. Untuk
menganalisis bahan hukum, digunakan metode analisis deduktif-induktif. Proses ini
dilakukan dengan menarik kesimpulan dari pengetahuan umum menuju hal-hal khusus, guna
menemukan kaidah yang benar dan tepat untuk menyelesaikan isu hukum yang menjadi
fokus penelitian.
Berdasarkan hasil pembahasan tesis ini adalah Pertama, pembuatan akta otentik melalui
sistem elektronik tidak dapat dilaksanakan karena apabila dilaksanakan dapat melanggar
syarat sah persyaratan keabsahan akta otentik, begitu pula dengan Pasal 15 ayat (3) UUJN
dan Pasal 16 ayat (1) huruf m UUJN yang menimbulkan konflik norma antara keduanya.
Pasal 15 ayat (3) UUJN mengisyaratkan adanya pemberlakuan sistem elektronik pada
pelaksanaan jabatan Notaris tetapi pada 16 ayat (1) huruf m UUJN makna menghadap saat
membuat akta otentik masih dimaknai secara konvensional dan ini merupakan syarat formil
yang wajib dipenuhi agar suatu akta otentik dinyatakan sah yang merupakan ketentuan
turunan dari Pasal 1868 KUH Perdata, yang menjelaskan definisi akta otentik. Oleh karena
itu, Notaris harus berhati-hati dalam menerima calon penghadap, terutama dalam permintaan
pembuatan akta otentik melalui sistem elektronik. Jika pembuatan akta dilakukan tanpa
aturan hukum yang jelas, maka akta tersebut berisiko kehilangan status otentiknya dan dapat
terdegradasi menjadi akta di bawah tangan. Hal ini tentu dapat merugikan para penghadap,
terutama dalam hal kekuatan pembuktian dan perlindungan hukum yang diberikan. Oleh
karena itu apabila Notaris masih melanggar ketentuan tersebut, maka Notaris dapat dimintai
pertanggungjawabannya apabila terbukti telah merugikan penghadap, hal ini dikarenakan
Notaris harus bertanggung jawab atas kelalaian serta kesalahan terhadap akta yang akan dibuatnya atau setelah akta itu dibuat. Kedua, bentuk tanggung jawab Notaris atas kelalaian
yang dibuatnya apabila melaksanakan pembuatan akta otentik melalui sistem elektronik
padahal hal tersebut belum ada aturannya maka, Notaris bertanggung jawab secara perdata
mencakup kewajiban untuk mengganti biaya, kerugian, dan bunga akibat tuntutan hukum jika
Notaris terbukti bersalah, dan akta yang dibuatnya kehilangan kekuatan hukum baik
terdegradasi menjadi akta di bawah tangan maupun batal demi hukum. Dasar penuntutan ini
merujuk pada Pasal 1365 KUH Perdata tentang perbuatan melawan hukum, meskipun sanksi
tersebut tidak secara eksplisit diatur dalam UUJN. Oleh karena itu, pihak yang dirugikan
tetap dapat menuntut ganti rugi dari Notaris. Bentuk tanggung jawab kedua adalah bentuk
tanggung jawab pidana. Apabila Notaris terbukti melakukan pelanggaran pada pembuatan
akta otentik, maka dapat dimintai pertanggungjawabannya secara pidana dengan melakukan
pelaporan seperti pemalsuan dokumen, dan lain sebagainya. Selain tanggung jawab perdata
dsn pidana, terdapat pula tanggung jawab administratif. Majelis Pengawas Notaris dapat
menjatuhkan sanksi administratif kepada Notaris, bahkan tanpa adanya laporan atau tuntutan
dari pihak tertentu. Cukup dengan adanya fakta bahwa akta otentik yang dibuat telah
terdegradasi menjadi akta di bawah tangan, Majelis Pengawas Notaris berwenang
mengadakan sidang untuk memberikan sanksi sesuai ketentuan yang berlaku apabila Notaris
terbukti lalai dalam menjalankan tugasnya.
Berdasarkan hasil penelitian ini, maka peneliti memberikan saran kepada pemerintah
untuk segera mengatur peraturan baru untuk Notaris di Indonesia yaitu pengaturan
pembuatan akta otentik melalui sistem elektronik agar dapat dilakukan di Indonesia, karena
dibandingkan dengan Negara seperti Belanda, Korea, Amerika, Jepang, China, dan Austria
mereka sudah lebih dulu memberlakukan peleksaan tugas jabatan Notaris menggunakan
sistem elektronik yang dalam hal ini bertujuan untuk memajukan Negara mereka dengan
percepatan pelayanan kenotariatan.
Collections
- MT-Notary [2]